Risalah Aktivis
Aktivis, Spiritualitas & Revo(t)lusi
Penulis : Alirumi
Waktu itu Azan subuh berkumandang si kipli masih tidur dengan selimut beserta kasur yang empuk. Sehabis mendiskusikan gerakan dll nya, otak mulai capek apalagi fisik, akhirnya kasur lebih menarik ketimbang Menunaikan sholat tuk bertemu kekasih. Kipli selepas berdiskusi sampai subuh bahkan menjelang matahari terbit sudah melebihi usaha aktivis sejati. Ayam udah bangun dari tidur, petani sudah pergi mencangkul ke sawah, nelayan sudan turun melaut, kipli baru memulai revo(t)lusi, dan revo(t)lusi itu dimulai dari memejamkan mata sampai terlelap tak sadarkan diri, hal ini di namakan dengan Sleeping with Revolution alias Tidur.
Disclaimer!!!
Mohon maaf jika ada kesamaan nama tokoh, jalan cerita, dan hal lainnya. Sebab ceritanya juga di ambil dari fenomena yang ada. Mohon di maklumi, cuman karangan, nulis sambil mengingau, karena kebanyakan tidur dan melamun.
Akhir-akhir ini saya bertemu dengan beberapa model aktivis mulai dari yang mazhab kiri, kanan, tengah bahkan yang tidak bermazhab. Corak diskusi yang cukup mewarnai di pikiran saya, saya berusaha memahami apa yang mereka sampaikan tentang tokoh" revolusi yang di kaguminya, dari revolusi perancis, revolusi bolzevic Perlu kita apresiasi dan semangatnya luar biasa sekali, walaupun dengan semangat mereka tak juga menambah semangat saya.
Mahasiswa yang masih membara bagaikan emot api. Tentu pikiran masih segar menerima ide" segar, apalagi yang menggugah psikologis dirinya. Bacaan pun agak" ngeriii, bukunya dibawa dan di jinjing kesana kemari, menarik perhatian mahasiswa lainnya yang melihat sebagai daya tarik. Yah, walaupun bukunya kadang dibaca, walaupun ngga sampai selesai, dan ke esokan harinya bawa buku dengan judul yang lainnya. Alhamdulillah masih mending mau baca, dari pada tidak. Sudah seharusnya pula mahasiswa banyak banyak membaca buku, jika dimaknai luas lagi, bukan hanya mahasiswa yang wajib membaca, setiap manusia semestinya begitu, MEMBACA.
Mahasiswa, yang katanya penyambung lidah masyarakat jangan sampai kehilangan ke-maha-an nya. Sederhananya, diri kita ini dibebani kecakapan Intelektual, gagasan, keberanian, kebijaksanaan, bahkan dunia pendidikan menyebutnya dengan Tri darma kependidikan. Beratt bukan!!!, emang berat. Namun tak apa, era sekarang setidaknya telah diselamatkan AI (artificial intelligence). Kalian bisa duduk santai bahkan rebahan, tugas-tugas kecerdasan telah selesai begitu cepat. Kalian tak perlu membaca, tak perlu berdiskusi, simpan kongko-kongko kalian karena algoritma telah mendiktekannya.
Akhirnya, apakah masih relevan dikalangan mahasiswa ini dijuluki dengan aktivis? Apakah mereka masih bisa menjadi penyambung lidah masyarakat ataukah menjadi penjilat ludah para pejabat. Hiduppp aktivisss....
Apa makna aktivis? Jika dilihat dari bahasa ialah orang yang memperjuangankan satu tujuan yang diyakini sesuai kepentingannya, organisasi atau kelompok. Maka secara sederhana, aktivis ialah orang yang jiwanya senantiasa aktif dalam kegiatan (peka realitas) yang bersesuaian tujuan suatu organisasi, kelompok, partai, paguyuban shalawat, buruh dll.
Siapapun bisa kita sebut aktivis, jika aktivis diartikan sebagai jiwa yang senantiasa aktif bertindak. Namun belum tentu dari semua tindakan mencerminkan aktivis. Jika aktivis orang yang dekat dengan Realitas kehidupan, atau sesuai kecendrungan fitrahnya. Maka, para koruptor, pelaku kezaliman, ketidakadilan tentu tidak bisa disebut dengan aktivis, karena keluar dari jalur kebenaran/kemanusiaan sebagai parameternya. Mungkin ada dari teman teman mau menyebutnya aktivis, panggil saja mereka aktivis, aktivis negatif sebagai antitesanya.
Disetiap zaman tentunya kita mengetahui kadar ataupun batasan yang terjadi, dalam dunia aktivis pun juga begitu, banyak aktivis yang melampaui zamannya, seperti di iran ada imam khamenei dkk, di barat ada che guevara, marx dkk, di indonesia sendiri mungkin kita kenal ada munir, soe hok gie, marsinah dkk yang tak bisa saya sebutkan pada tulisan sederhana ini. Mereka orang-orang yang telah tiada tapi kematiannya membawa sejarah yang tak bisa kita lupakan, mereka telah tiada namun nama dan sejarah perjuangannya melampaui zaman mereka hidup, mungkin saja jika ceritanya tak habis habis di gaungkan, alhasil mereka hidup abadi sepanjang zaman.
Diabad 21 ini kita bercerita perjuangan masa lampau, kita beromantisme dengan kisah kisah gerakan masa lalu. Banyak aktivis tak bisa diam untuk menceritakan kehebatan para pendahulu nya, mungkin sebagai bara api untuk membangkitkan kemalasan mahasiwa yang hanya fokus pada pendidikan alias kupu kupu (kuliah pulang) dan hanya fokus mementingkan diri sendiri. Tentunya baik baik saja, ingin menempa mahasiwa dengan semangat gerakan sosial, akan tetapi apakah semangat gerakan sosial bisa langgeng dengan omongan/motivasi?
Kita bukan pesimis dengan jalur motivasi demi membangkitkan semangat gerakan, tapi kenyataan dan kehidupan Realitas sosial yang begitu hari semakin kompleks, kayaknya motivasi kurang sempurna dalam memantik semangat teman-teman yang ada. Mungkin juga yang memotivasi hidupnya perlu disemangatkan pula, supaya makin panas motivasinya. Hehe
Jika teman-teman membaca bukunya prof kuntowijoyo yang berjudul muslim tanpa masjid. Dibuku tersebut menjelaskan salah satu fenomena dimana para aktivis meninggalkan rumah ibadah sebagai peristirahatan (otoritatif Intelektualitas) mereka, aktivis berbondong-bondong menjauhi tempat spiritualitas, sehingga fenomena ini menjadi kritikan bagi prof kunto, mengapa aktivis, masyarakat, parpol, kelas usaha, dll yang berafiliasi muslim meninggalkan masjid? Ada apa? Alhasil, ramalan prof kunto ini cukup banyak terjadi, masyarakat telah meninggalkan satu otoritas ajaran agama yang melembaga seperti masjid. Kini beralih hanya dengan sentuhan jari dan ucapan melalui platform media sosial orang orang bisa belajar spiritualitas secara otodidak, bisa menjadi ustad dengan kutipan ayatnya, bisa menjadi filosof dengan petuah bijaknya. Dan Mereka didik dengan algoritma serta ustadz/ulama bodong.
Dan hal ini juga terjadi kepada aktivis gerakan saat ini apalagi gerakan sosial dengan embel embel perubahan sosial dan macem-macem lah. Gerakan sosial namun tak memiliki pijakan spiritualitas, mau dibawa kemana gerakan ini, hanya pada tataran manusia? Ini tak ubahnya dengan gerakan yang ada di eropa sana. Tentu baik baik saja kita berbuat baik sesama manusia, akan tetapi perbuatan baik perlu tujuan yang jelas, apakah berhenti hanya tataran manusia/antroposentris, atau mau dibawa kemana masyarakat ini? mau dibawa kemana umat manusia ini? Apakah selesai dengan seputaran humanity ataukah ada hal yang melampaui hal tersebut?
Makin hari nuansa aktivis perlu di renovasi, aktivis bukan sekedar slogan yang menempel disaat demo mendesak, tentunya kita tak mau di sebut sebagai aktivis panggilan, ada persoalan baru muncul ke permukaan, bagaikan pahlawan kesiangan. Eittts tapi emang benar, aktivis sekarang bangunnya pada siang bahkan menjelang malam. Tentu tak apa, karena aktivis juga manusia, mungkin capek telah berdiskusi panjang lebar, rokok habis berbungkus-bungkus, kopi telah habis bergelas-gelas, pikiran udah mulai capek, ngomong udah mulai ngelantur, malam telah menjelang subuh, mata udah mulai bertukar kayak kelelawar. Paginya waktu tidur, malamnya lembur. Aihhh, indahnya hidup aktivis ini, bisa kita ceritakan buat adik adik selanjutnya lagi. Begitulah narasi senior.
Terlepas dari itu semua, fenomena yang ada pada kehidupan aktivis telah mewarnai dinamika intelektual kampus dan sekitarnya. Tak hanya mementingkan aspek spiritual, dibelahan dunia ini terdapat orang orang yang memang ada gerakannya terfokus pada kemanusiaan serta lingkungan. Mereka tak perlu hal hal yang berbau Transenden, bagi mereka masa depan alam dan manusia menjadi penting. Apakah hal ini salah? Tentu tidak juga. Karena sebagian diri kita memang tertaut pada alam serta empati kemanusiaan. Namun kurang lengkap saja jika spritualitas lingkungan/alam serta visi kemanusian kita tak melibatkan ruang ilahi. Rasionalitasnya ialah pada tataran keadilan, jika tak ada yang namanya pembalasan diruang metafisika/akhirat, maka apa arti ketika pelaku kebaikan dan kejahatan di dunia ini? Tohh mereka berbuat sesuka mungkin tidak ada hukuman ataupun reward yang didapatkan. Contohnya, pelaku korupsi tidak dihukum setimpal mungkin di dunia ini, sedangkan pencuri kayu bakar buat menutupi kelaparanannya hari ini di hukum begitu berat. Oleh karena itu, visi spiritualitas perlu ditancapkan pada setiap gerakan, supaya nilai kebaikan dan kejahatan bisa terukur pada keadilan (transenden).
Disisi lain, mengapa spiritualitas menjadi penting, supaya aktivis dalam gerakannya bukan lagi atas dorongan material, tentu material ialah landasan, bukan tujuan utama. takutnya ketika berada dalam gerakan, disempal pakai uang 10jt, 15jt, 20jt memang belum diambil, kalau udah 100jt bahkan miliaran apa ngga goyang itu aktivis. Apalagi pengen terkenal alias popularitas, polisi tembak pakai air mata di medan perang lari berhamburan. Karena hal hal beginilah mengapa aktivis perlu memasuki ruang metafisika, supaya kematian (kesyahidan) menjadi doktrin gerakan (baca, Syariati).
Selaku penulis, saya tak ingin mengajak para pembaca membaca panjang lebar lagi, apalagi mengajak untuk sholat, berzikir, bertuhan dan beribadah lainnya. Tulisan ini juga tak penting-penting amat buat direnungkan. Namun untuk mengakhiri tulisan ini saya ingin berbagi puisi yang sedikit enak didengar. Hehe....
Aku, Revolusi dalam pertanyaan.
Apa arti revolusi, jika rokok ditangan masih dari duit orang tua.
apa arti revolusi? jika bangun subuh saja susah apalagi bangun negara.
Apa arti revolusi? Jika Bangun kemandirian aja susah, apalagi bangun keadilan.
Apa arti revolusi? Jika petani pagi-pagi telah turun ke sawah, para Nelayan Sudah melaut, sedangkan dikau masih sibuk bersama kasur dan selimutmu.
Apa arti revolusi? Akupun tak tahu, karena aku sibuk membicarakannya.
inilah Revolusi, kamuflase intelektual.
Bagaimana Revolusi, dikau cari dari malam tembus pagi.
Shadaqaullahul Adzhim
Bihaqqi Muhammad Saww....
Malang, 26/5/25
Komentar
Posting Komentar