Proyek perkaderan #8
Jabatan Elit, Perkaderan Sulit, Kader Menjerit.
Penulis: Alirumi
Saya ingin memulai tulisan ini dengan satu kutipan salah satu tokoh filsuf ternama dari yunani yaitu Plato, ia mengatakan : "ketika orang-orang terbaik yang ada dan tak mau menjadi Penguasanya, maka kita akan diatur oleh orang-orang yang terburuk".
Organisasi perkaderan ini yaitu HMI telah banyak mencetak kader-kader yang terbaik, kita mengetahui ada Lafran Pane sebagai founding fathernya, ada Nurcholis Madjid atau Cak nur, ada Dawam Rahardjo, azumardi azra cendikiawan muslim Indonesia dan masih banyak lagi yang telah menoreh nama besar di tubuh HMI ini. Namun disisi lain, kita juga mengetahui bahwa ada pula kader yang tak jadi apa-apa dalam tubuh HMI, Yahh minimal dia telah berkader atau telah berkontribusi menyambung nafas pada organisasi ini agar tetap Hidup.
Dari zaman ke zaman HMI telah lumayan berkontribusi besar buat bangsa dan negara ini. Kiprah organisasi islam ini menjadi jembatan kaum kelas menengah atau kita sebut saja mahasiswa untuk berproses, menempa dirinya, menggali potensi serta mengasah keterampilan mereka. Alhasil, HMI menjadi salah satu organisasi mahasiswa yang terkenal dengan dinamika intelektual yang beragam dan berani mengkampanyekan gagasan-gagasan besarnya.
Dari beberapa kader yang telah berhimpun dan mencatat nama besarnya di organisasi ini, sudah sewajarnya ada yang menjadikan ia sebagai panutan atau kita sebut saja kakanda Andalan. Seperti Nama besar cak nur, kader yang betul-betul progresif, menulis banyak buku dan artikel, gagasan-gagasannya masih dipakai hingga kini, ini baru betul kakanda andalan, bukan yang ecek-ecek justru tiba-tiba dipanggil kakanda andalan, tentu baik-baik saja demi mengolah-olah para kanda yang haus akan pujian. Semoga saja kelak menjadi kakanda andalan beneran, kita takut nanti ia terlena dengan pujian itu, akhirnya dari kakanda andalan jadi kakanda siluman.😁
Dalam organisasi ini, kita sebagai kader HMI dituntut untuk berproses dengan sungguh-sungguh. Sebagaimana kita yang telah di fasilitasi berbagai ruang-ruang untuk membangun kepemimpinan, wawasan serta kecapakan pada tatanan praktis dalam kehidupan sosial kita. Namun sayang, masih saja kita dihadapi dengan kendala-kendala yang tak seharusnya di berikan pada kerja-kerja kemanusiaan ini. Kita sebut saja kerja kemanusiaan ini ialah kegiatan training baik formal dan informal, seperti Lk1,2,3 diskusi rutin dan training lainnya yang dapat menunjang kegiatan berkader.
Pada fakta-fakta tertentu mungkin sebagian kita pernah dipersulit pada garis struktural organisasi ketika ingin mengadakan kegiatan training, contoh kegiatan LK1, kita harus mengirim surat izin ke Cabang dan BPL bahwa dari komisariat ingin mengadakan training tersebut, surat begini tentu sudah seharusnya. Namun Biasanya, ada kanda-kanda nakal yang seolah-olah senior ini terkadang menjadi benalu buat kerja kemanusiaan ini dilakukan. Macem-macem modusnya, seperti tidak ada kofirmasi atau ngabarin ke mereka, konfirmasinya telat alias mepet-mepet mau acara, sehingga kader-kader dibawah ini dilempar sana sini disuruh hubungi ini dan itu. Tentu sebagai Kader amatiran alias pengurus baru komisariat akan pusing menghadapi persoalan-persoalan begini. Namanya juga gen Z berHMI.
Jadi, bukan hanya faktor-faktor eksternal saja yang dapat mempersulit jalannya perkaderan, jalur orang dalam alias ruang internal struktural pun juga ikut-ikutan. Apa iya karena ngga ada duit didalam organisasi ini jadi kitapun males-malesan dan mood"an untuk mengurusi hal tersebut. Apa Mungkin saja kalau ada uang pelicin urusan jadi Lancar, biar dapat jalur privilege begitu.
Kita ini berkader bukan untuk menjadikan diri kita bersikap pongah ketika berada di atas, memakai jubah Kesombongan mentang-mentang menduduki jabatan elit gelar kabid, ketum dan lainnya sehingga menjadikan diri kita seolah-olah senior yang dimana para junior harus berlutut, mencium tangan, mengemis urusan dipermudah. Memang Relasi Kuasa dan konflik kepentingan menjadi sasaran individu apabila ia mendapatkan sebuah kuasa. Tapi alangkah baiknya sadar diri wahai elit kuasa, kalian awalnya juga dari bawah, jangan seolah-olah begitu. Apa patut kalian banggakan dengan jabatan atau gelar begitu, harusnya yang dipertontonkan ialah sikap kasih sayang dan pelayanan serta beban moral karena telah mendapatkan mandat begitu.
Karena komisariat ialah tempat steril jalannya perkaderan, sebagai tempat kran awal proses perkaderan, maka teman-teman Cabang, korkom serta BPL (badan pengelola latihan) ialah PELAYAN bagi komisariat. Namun saat ini, garis struktural telah membutakan mereka, mereka yang menjabat kursi-kursi elit menjadikan mereka terninabobokan. mereka menganggap komisariat tempat yang rendah remeh temeh, padahal di setingkat komisariatlah kita mendapatkan pendidikan pertama berHMI. Mungkin saja Kita tak bisa berharap besar lagi dengan yang diatas jika modelan begitu, karena mereka sudah sibuk dengan pragmatisme kehidupan, politik praktis, konflik internal, tambal sulam kepengurusan, dan yang harusnya mereka ialah pelayan perkaderan kini berubah wajah yang penuh kesibukan masing-masing dan kenaifan.
Perkaderan kita terlalu monoton dan ditandai dengan terpenjaranya kita terhadap garis koordinasi struktural. Tentu dapat dipahami ini adalah aturan administratif serta konstitusi yang ada, namun hal yang bukan subtansi begini secara tak langsung membatasi kita dalam proses perkaderan. Apa-apa yang dibawah seperti komisariat harus wajib lapor alias konsultasi ke yang diatas. Terkadang agak sedikit menggelikan, mereka bilang ingin jaga independensi, namun itu cuman jargon saja, setelah itu mereka mulai melacurkan diri dihadapan materi.
Memang relasi antara senior dan junior, antara kanda dan dinda, layaknya guru dan murid. Sebagaimana jika posisi kanda ialah seorang guru, pengampu maka dalam perspektif hirarki kelimuan, guru harus mencari murid, yang diatas harus turun kebawah, bukan justru sebaliknya. Akan tetapi fakta yang ada, hubungan antara senior (Kanda) dan junior (Dinda) nyatanya penuh dengan nuansa sosial dan politik. Kejadian ini kerap kali memunculkan dilema yang mempengaruhi cara kader berinteraksi, belajar, dan berkembang.
Namun fakta sering kali menunjukkan adanya kecenderungan di mana orang yang disebut Kanda, kakanda memanfaatkan posisinya untuk mempertahankan kekuasaan serta kepentingan pribadi. Dalam kondisi ini, hubungan Kanda Dinda tidak selalu berjalan lancar dan bisa menjadi arena untuk menegakkan hirarki dan pembatasan yang justru merugikan Dinda.
Saya tak bermaksud mengajak para sidang pembaca membenarkan tulisan ini, tulisan ini hanya mengambil beberapa fenomena kejadian yang tak dapat digeneralkan ke yang lainnya. Memang fenomena begitu bisa saja terjadi di kondisi-kondisi tertentu, kerap kali pristiwa itu terjadi atas nama perkaderan. Ketika Kepentingan pribadi atas nama Perkaderan, apa yang kita boleh perbuat? Kebanyakan kader memilih diam, diam bukan tidak menyimpan kemarahan, karena kita tahu posisi kita, mau marah, tapi mereka punya kekuasaan, apalah daya kita orang-orang kecil yang tak punya power, sebagai kader yang bukan gila kekuasaan, gila hormat, kita harusnya patut bersyukur karena keberadaan anda yang tidak menganggap kekuasaan, jabatan bukan layaknya emas yang bisa bikin orang pangling, sebagai kader anda telah menampilkan wajah sejati para pendahulu.
Barangkali salah satu dari kita pernah merasakan di posisi yang saya terangkan diatas, adapun kesamaan ceritanya mungkin itu takdir ataupun nasib apes berkader. Kita berharap berkader bukan pamer kemegahan jabatan yang katanya posisi strategis, posisi elit. Kita berkader untuk menampilkan wajah kemanusiaan yang telah terkubur.
Shadaqaulahul adzhim.
Bihaqqi Muhammad saww...
Dipinggir kota malang
9/11/24
Komentar
Posting Komentar