Proyek Perkaderan #6
Krisis Pembaharuan Gen Z ditubuh HMI?
Penulis : Alirumi
Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan teknologi dan informasi. Mereka adalah generasi digital yang berhadapan dengan tantangan baru, baik secara sosial, politik, maupun lingkungan. Di tengah konteks ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) muncul sebagai sebuah entitas yang menarik untuk dibahas, terutama dalam hubungan dengan nilai-nilai dan pemikiran yang dianut oleh Gen Z.
Identitas dan Keterhubungan Salah satu ciri khas Gen Z adalah keinginan untuk terhubung dan berinteraksi dengan beragam perspektif. Mereka lebih cenderung mengedepankan nilai inklusivitas dan keberagaman. Dalam konteks HMI, yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, generasi ini dihadapkan pada tantangan untuk menafsirkan identitas Islam yang kontekstual. Apakah HMI mampu menjadi wadah yang inklusif bagi semua latar belakang pemikiran dan keyakinan, ataukah justru menjadi tempat yang membatasi?
Pertanyaan ini mengajak kita untuk merenungkan bagaimana HMI bisa beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan esensinya. Jika kita lihat secara pandangan filsafat eksistensialisme, individu memiliki kebebasan untuk menentukan identitasnya. Dengan demikian, Gen Z dan HMI harus bisa menyeimbangkan antara tradisi dan inovasi, antara nilai-nilai yang diwariskan dan tuntutan zaman yang terus berubah.
Adanya Tanggung Jawab Sosial yang kita emban, sehingga Salah satu nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh Gen Z adalah moralitas yang mampu menjaga image mereka. Mereka menyaksikan ketidakadilan, perubahan iklim, dan berbagai isu sosial lainnya melalui lensa digital. HMI dengan semangatnya dalam menyesuaikan perubahan, dapat berfungsi sebagai jembatan antara idealisme Gen Z dan realitas sosial. Maka di sinilah, mungkin corak utilitarianisme sebagai alternatif mereka, sebagai tindakan yang diambil harus berorientasi pada manfaat bagi masyarakat luas.
Namun, tanggung jawab sosial atau moralitas tidak hanya sekadar melakukan aksi atau kampanye. Ini juga melibatkan kesadaran untuk memahami konteks sosial yang lebih besar. Gen Z harus mampu mengintegrasikan pemikiran kritis dalam setiap tindakan yang dilakukan di dalam HMI, agar dapat memberikan solusi yang tidak hanya temporer, tetapi juga berkelanjutan. Mungkin jika kita lihat realitas sekarang ini kita tak hanya berpangku tangan ketika mendapatkan berbagai macam teori-teori kritis dari berorganisasi, justru kita pula perlu berani menguji pikiran sendiri ditengah kompleksitas kehidupan, sebagaimana ungkapan Karl Popper tentang falsifikasinya mengajarkan bahwa ide-ide harus dapat diuji dan dipertanggungjawabkan, sehingga generasi ini bisa menyikapi tantangan dengan cara yang lebih sistematis dan analitis.
Gen Z berHMI mungkin telah banyak menyaksikan pesta ekopol dan kehidupan sosial yang cendrung tikam menikam atau kita sebut sebagai conflict of interest, akhirnya Keterlibatan dalam Politik menjadi sebuah ajang mencari jati diri, memang HMI sebagai organisasi mahasiswa tentu tidak terlepas dari dinamika politik. Generasi Z memiliki karakteristik unik dalam memahami politik; mereka lebih skeptis terhadap lembaga politik tradisional, namun tetap sangat peduli terhadap isu-isu yang mempengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu, HMI harus bisa menjadi platform yang memberikan ruang bagi Gen Z untuk mengeksplorasi dan berdiskusi tentang isu-isu tersebut, tanpa terjebak pada pola pikir dogmatis ataupun sempalan alias intruksi senioritas.
Di sinilah filsafat politik, yang berorientasi pada transfomasi sosial berwajah keadilan dikedepankan. Meminjam pemikiran John Rawls tentang keadilan, mungkin bisa menjadi gambaran untuk diterapkan. Rawls menekankan pentingnya keadilan sebagai fairness atau dalam konteks HMI, ini berarti menyediakan ruang yang adil bagi setiap suara untuk didengar. Generasi Z harus merasa bahwa mereka memiliki kekuatan untuk berkontribusi dan bahwa setiap tindakan mereka di dalam HMI memiliki implikasi yang lebih luas. Namun, secara kondisi yang kurang menguntungkan pada Gen Z ini, alhasil suara mereka banyak dipangkas dan di mobilisasi pada kepentingan jangka pendek politik praktis di tubuh HMI.
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh inovasi ini, gen Z bersama HMI sepatutnya telah beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan cara berpikir yang baru. Mungkin saran ini telah didengar berkali-kali di kuping para Gen z, namun entah apa yang terjadi, warga Gen Z di HMI dapat dihitung jari untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Walaupun Gen Z adalah generasi yang terbiasa dengan perubahan yang cepat, dan mereka cenderung lebih terbuka terhadap pendekatan yang inovatif. Akan tetapi secara pragmatisnya masih banyak pula yang tidak mampu menekankan pada aplikasi praktis atau mengimbangi laju nya perubahan kehidupan sosial. mungkin saja kehidupan yang serba instan begini terlalu memberi zona nyaman pada mereka. Alhasil, keterlambatan regenerasi di tubuh HMI pada setingkat komisariat, koorkom, cabang serta PB sedikit demi sedikit mengalami kemunduran secara kapasitas kemapanan, sebab mereka mengalami gejala mental yang tak terlalu siap untuk di tempa alias terninabobokan. Apa mungkin gen Z perlu mengeksplorasi cara-cara baru dalam berorganisasi, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan anggotanya sebagaimana kecendrungan pola dan gaya hidup mereka? Namun, bagaimana?
Inovasi dalam konteks HMI tidak hanya terbatas pada penggunaan teknologi, tetapi juga meliputi cara berpikir dan pendekatan terhadap masalah sosial. Generasi Z harus diberdayakan untuk berkontribusi dalam menciptakan solusi yang kreatif, yang tidak hanya sekedar mengikuti arus, tetapi mampu menggugah kesadaran kolektif.
Dalam perjalanan untuk memahami bagaimana Generasi Z berinteraksi dengan Himpunan Mahasiswa Islam, kita dihadapkan pada serangkaian pertanyaan filosofis yang mendalam. Identitas, tanggung jawab sosial, keterlibatan politik, serta inovasi adalah rumusan yang akan membentuk masa depan HMI dan, pada gilirannya, masa depan keindonesiaan ini.
Generasi Z harus mampu mengeksplorasi nilai-nilai yang ada dalam HMI dengan cara yang kritis dan konstruktif. Mereka tidak hanya pewaris tradisi alias previlage para pendahulu, tetapi juga pencipta masa depan. Dalam konteks ini, organisasi HMI bisa menjadi wadah bagi mereka untuk tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk masyarakat yang lebih luas.
Dengan demikian, harapan kita adalah bahwa gen Z berHMI dapat terus beradaptasi, tumbuh, dan berkembang seiring dengan dinamika zaman, menjadikan nilai-nilai keagamaan sebagai landasan yang kokoh, sekaligus membuka ruang untuk inovasi dan partisipasi yang lebih luas. Generasi Z, dengan semangatnya yang dinamis, adalah kunci untuk mewujudkan visi tersebut ataukah ia akan melahirkan sebuah generasi yang mandul alias krisis pembaharuan.
Shadaqaullahul Adzhim.
Bihaqqi Muhammad saww.
Kota malang, 24/10/24
Identitas dan Keterhubungan Salah satu ciri khas Gen Z adalah keinginan untuk terhubung dan berinteraksi dengan beragam perspektif. Mereka lebih cenderung mengedepankan nilai inklusivitas dan keberagaman. Dalam konteks HMI, yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, generasi ini dihadapkan pada tantangan untuk menafsirkan identitas Islam yang kontekstual. Apakah HMI mampu menjadi wadah yang inklusif bagi semua latar belakang pemikiran dan keyakinan, ataukah justru menjadi tempat yang membatasi?
Pertanyaan ini mengajak kita untuk merenungkan bagaimana HMI bisa beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan esensinya. Jika kita lihat secara pandangan filsafat eksistensialisme, individu memiliki kebebasan untuk menentukan identitasnya. Dengan demikian, Gen Z dan HMI harus bisa menyeimbangkan antara tradisi dan inovasi, antara nilai-nilai yang diwariskan dan tuntutan zaman yang terus berubah.
Adanya Tanggung Jawab Sosial yang kita emban, sehingga Salah satu nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh Gen Z adalah moralitas yang mampu menjaga image mereka. Mereka menyaksikan ketidakadilan, perubahan iklim, dan berbagai isu sosial lainnya melalui lensa digital. HMI dengan semangatnya dalam menyesuaikan perubahan, dapat berfungsi sebagai jembatan antara idealisme Gen Z dan realitas sosial. Maka di sinilah, mungkin corak utilitarianisme sebagai alternatif mereka, sebagai tindakan yang diambil harus berorientasi pada manfaat bagi masyarakat luas.
Namun, tanggung jawab sosial atau moralitas tidak hanya sekadar melakukan aksi atau kampanye. Ini juga melibatkan kesadaran untuk memahami konteks sosial yang lebih besar. Gen Z harus mampu mengintegrasikan pemikiran kritis dalam setiap tindakan yang dilakukan di dalam HMI, agar dapat memberikan solusi yang tidak hanya temporer, tetapi juga berkelanjutan. Mungkin jika kita lihat realitas sekarang ini kita tak hanya berpangku tangan ketika mendapatkan berbagai macam teori-teori kritis dari berorganisasi, justru kita pula perlu berani menguji pikiran sendiri ditengah kompleksitas kehidupan, sebagaimana ungkapan Karl Popper tentang falsifikasinya mengajarkan bahwa ide-ide harus dapat diuji dan dipertanggungjawabkan, sehingga generasi ini bisa menyikapi tantangan dengan cara yang lebih sistematis dan analitis.
Gen Z berHMI mungkin telah banyak menyaksikan pesta ekopol dan kehidupan sosial yang cendrung tikam menikam atau kita sebut sebagai conflict of interest, akhirnya Keterlibatan dalam Politik menjadi sebuah ajang mencari jati diri, memang HMI sebagai organisasi mahasiswa tentu tidak terlepas dari dinamika politik. Generasi Z memiliki karakteristik unik dalam memahami politik; mereka lebih skeptis terhadap lembaga politik tradisional, namun tetap sangat peduli terhadap isu-isu yang mempengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu, HMI harus bisa menjadi platform yang memberikan ruang bagi Gen Z untuk mengeksplorasi dan berdiskusi tentang isu-isu tersebut, tanpa terjebak pada pola pikir dogmatis ataupun sempalan alias intruksi senioritas.
Di sinilah filsafat politik, yang berorientasi pada transfomasi sosial berwajah keadilan dikedepankan. Meminjam pemikiran John Rawls tentang keadilan, mungkin bisa menjadi gambaran untuk diterapkan. Rawls menekankan pentingnya keadilan sebagai fairness atau dalam konteks HMI, ini berarti menyediakan ruang yang adil bagi setiap suara untuk didengar. Generasi Z harus merasa bahwa mereka memiliki kekuatan untuk berkontribusi dan bahwa setiap tindakan mereka di dalam HMI memiliki implikasi yang lebih luas. Namun, secara kondisi yang kurang menguntungkan pada Gen Z ini, alhasil suara mereka banyak dipangkas dan di mobilisasi pada kepentingan jangka pendek politik praktis di tubuh HMI.
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh inovasi ini, gen Z bersama HMI sepatutnya telah beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan cara berpikir yang baru. Mungkin saran ini telah didengar berkali-kali di kuping para Gen z, namun entah apa yang terjadi, warga Gen Z di HMI dapat dihitung jari untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Walaupun Gen Z adalah generasi yang terbiasa dengan perubahan yang cepat, dan mereka cenderung lebih terbuka terhadap pendekatan yang inovatif. Akan tetapi secara pragmatisnya masih banyak pula yang tidak mampu menekankan pada aplikasi praktis atau mengimbangi laju nya perubahan kehidupan sosial. mungkin saja kehidupan yang serba instan begini terlalu memberi zona nyaman pada mereka. Alhasil, keterlambatan regenerasi di tubuh HMI pada setingkat komisariat, koorkom, cabang serta PB sedikit demi sedikit mengalami kemunduran secara kapasitas kemapanan, sebab mereka mengalami gejala mental yang tak terlalu siap untuk di tempa alias terninabobokan. Apa mungkin gen Z perlu mengeksplorasi cara-cara baru dalam berorganisasi, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan anggotanya sebagaimana kecendrungan pola dan gaya hidup mereka? Namun, bagaimana?
Inovasi dalam konteks HMI tidak hanya terbatas pada penggunaan teknologi, tetapi juga meliputi cara berpikir dan pendekatan terhadap masalah sosial. Generasi Z harus diberdayakan untuk berkontribusi dalam menciptakan solusi yang kreatif, yang tidak hanya sekedar mengikuti arus, tetapi mampu menggugah kesadaran kolektif.
Dalam perjalanan untuk memahami bagaimana Generasi Z berinteraksi dengan Himpunan Mahasiswa Islam, kita dihadapkan pada serangkaian pertanyaan filosofis yang mendalam. Identitas, tanggung jawab sosial, keterlibatan politik, serta inovasi adalah rumusan yang akan membentuk masa depan HMI dan, pada gilirannya, masa depan keindonesiaan ini.
Generasi Z harus mampu mengeksplorasi nilai-nilai yang ada dalam HMI dengan cara yang kritis dan konstruktif. Mereka tidak hanya pewaris tradisi alias previlage para pendahulu, tetapi juga pencipta masa depan. Dalam konteks ini, organisasi HMI bisa menjadi wadah bagi mereka untuk tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk masyarakat yang lebih luas.
Dengan demikian, harapan kita adalah bahwa gen Z berHMI dapat terus beradaptasi, tumbuh, dan berkembang seiring dengan dinamika zaman, menjadikan nilai-nilai keagamaan sebagai landasan yang kokoh, sekaligus membuka ruang untuk inovasi dan partisipasi yang lebih luas. Generasi Z, dengan semangatnya yang dinamis, adalah kunci untuk mewujudkan visi tersebut ataukah ia akan melahirkan sebuah generasi yang mandul alias krisis pembaharuan.
Shadaqaullahul Adzhim.
Bihaqqi Muhammad saww.
Kota malang, 24/10/24
Komentar
Posting Komentar