Menalar Perempuan

Menalar perempuan

Penulis: Alirumi

Berbagai macam hidangan pembicaraan dan problem dunia modern ini, membicangkan pelajaran bahkan tidak mungkin untuk terlewatkan ialah pendiskusian yang menyinggung tentang perempuan, baik dari sisi sejarah, kebudayaan, sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan agama. Perempuan menjadi topik penting yang memberikan sumbangsih perjalanan  sejarah gerakan intelektual terutama mungkin gerakan feminisme abad 18 hingga sampai sekarang.

Menalar perempuan dalam berbagai persfektif, tentu tidak lepas dari pendasaran konsep atas hakikat jati diri perempuan, arti dan makna perempuan, kedudukan serta perannya dalam sektor domestik maupun publik yang tidak lepas dari diskriminasi, ikhwal diskriminasi tidak lepas dari pembahasan mengenai identifikasi akar persoalan, yang berbeda tiap aliran pemikiran terkait posisi perempuan. (Baca aliran feminism)

Beragam stigma yang ditempelkan kepada mereka, seperti kasih sayang, cengeng, pasif, rasa malu, kelemahan, tangisan, baperan dan  karakter-karakter hati yang lain menjadi bentuk negatif dalam realitas apapun, setidaknya kontruksi negatif tentang perempuan masih melekat, dan dipredikatkan kepada makhluk yang indah secara fiksi, namun berbahaya secara fakta kata seorang filosof baru di Indonesia (Rocky gerung).

Menurut hemat saya, fenomena  semacam ini alias tempelan predikat kepada perempuan menjadi sangat membingungkan ketika para pemikir bahkan penafsir teks agama mengambil jalan sederhana dalam mengartikan perempuan yang menjadikan pendapat itu sebagai pendapat yang  justru mendiskreditkan perempuan. Dengan sebutan Ciptaan kedua, makhluk sekunder, kelas kedua, dari tulang rusuk yang bengkok, lemah akal dan masih banyak lagi predikat yang seharusnya tidak pantas untuk di berikan kepadanya.

Para pembesar-pembesar inilah yang justru membuat kita harus berpikir keras bahwa apakah tidak ada teori dan pembenaran atas teks-teks agama terhadap perempuan sehingga kesimpulannya terlalu cepat nan terburu-buru? Apa yang dimaksud perempuan sebagai the second sex/makhluk sekunder/mahkluk pelengkap, dari tulang rusuk dan akalnya lemah?

Pembahasan terkait stigma negatif kepada perempuan bukanlah hal mudah, stigma yang terbangun bertahun-tahun di jiwa masyarakat merupakan sebuah penyakit yang sembuhnya butuh waktu yang lama. Kita membutuhkan kerja keras untuk urusan satu ini. Salah satu caranya ialah, bagaimana membenarkan nalar atau melihat cara pandang  pada masyarakat kita tentang objektifnya manusia perempuan ataupun merekontruksi cara pandang yang baru.

Disisi lain, mengapa kita perlu melihat perempuan sebagai manusia yang sama dengan laki-laki dalam segi penciptaan, sebagaimana alquran menyebutkan bahwa kita ialah dari jiwa yang satu. Tentu, perbedaan dari segi fisik dapat kita terima, antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan masing-masing dari segi biologisnya. Lantas, ketika banyaknya stigma negatif, mengatakan perempuan lemah fisiknya, lemah akalnya, makhluk kelas kedua, sebagai pelengkap. Tentunya hal ini perlu kita pertanyakan.

Adapun stigma perempuan lemah fisik, akalnya dan hal lainnya dan kelemahan-kelemahan itu dinilai berdasarkan apa? Fisik yang mana dikatakan lemah? Akal yang mana di katakan lemah? Secara fakta, kita bisa melihat ada perempuan yang lebih kuat dari Laki-Laki mulai dari segi akalnya bahkan dari sisi fisiknya. Coba kita lihat para emak-emak dalam relasi rumah tangga, mereka bisa satu hari bisa melakukan aktivitas yang berbagai macam, mereka ada yang jadi pengajar ataupun dosen, kesana kemari, masak, beres rumah sambil gendong bayi, ngurus anak, mereka mampu melakukannya, Hal ini belom tentu bisa dilakukan oleh bapak-bapak, Padahal rumah tangga diurus bersama. Mengapa sebagian para laki-laki seperti alergi melakukan kegiatan begitu.

Mungkin saja para laki-laki setelah gagal mengelabui perempuan bahwa dapur ialah kewajiban perempuan, sehingga di poles kembali, dapur ialah awal dari sebuah revolusi. Perkataan-Perkataan seperti ini sebenarnya ingin menarik kembali perempuan dalam urusan domestik, yaitu dapur, sumur, kasur dan di kubur.

Jika kita lihat dalam perspektif filsafat, ketika perempuan di stigma dengan akal nya lemah, tentu akal yang mana dikatakan lemah tersebut? Studi filsafat membagi bahwa ada yang dinamakan akal teoritis (abstraksi) dan akal praktis (perbuatan). Perempuan lemah pada akal yang mana? Sebagian kita meyakini bahwa perempuan lemah secara akal teoritis, dan hal ini ditandai ketika di forum" diskusi kebanyakan perempuan menjadi diam tidak terlalu aktif, di klaster filsafat, para filosof kebanyakan diwakili oleh laki-laki, dimana perempuan? Di anggota parlemen kebanyakan laki-laki, kemana populasi perempuan? Apakah memang benar mereka lemah akalnya, sehingga mereka tidak mendapatkan porsi seimbang dengan laki-laki?

Pada dasarnya, manusia hidup dengan segenap perbedaan di alam ini, Manusia ialah bagian dari alam sehingga pembagiannya tak terlepas dari alam material. Sederhananya, kita masukkan manusia dalam benda hidup dengan klasifikasi binatang dan tumbuhan. Pada binatang ini kita jumpai ada hewan dan manusia, dalam ilmu logika untuk membedakan antara manusia dan hewan ialah dengan pembeda jauh, yaitu bahwa manusia memiliki akal sementara hewan tidak. Karena itulah mengapa manusia seringkali dikatakan al hayawan al natiq (binatang yang berpikir), Inilah differentia/pembeda yang ada dari keduanya.

Perlu juga diketahui bahwa pembeda dan forma (bentuk) memiliki perbedaannya, Perbedaan diantara mereka ialah pembeda pada posisi material (jasad) sementara forma pada bentuk nonmaterial yaitu jiwa/ruh/potensi.

Oleh karena itulah, berbicara tentang gender kita masukkan dalam pembeda fisik material, bukan forma ataupun bentuk nonmaterialnya. Sendainya hewan memiliki bentuk insani, maka otomatis hewan tidak memiliki pembeda yang jauh dengan manusia. Dan hal itulah forma dalam tataran ini hanya ada pada manusia dan pembeda terdapat pada seluruh benda, baik itu tumbuhan, hewan dan manusia. Differentia atau pembeda inilah atribusi ataupun suatu peletakan kepada bentuk-bentuk material seperti tubuh fisik bisa kita ketahui pada bentuk jasad/fisik antara perempuan dan laki-laki, betina dan jantan, male and female.

Sehingga dari hal ini (pembeda fisik), kita akan mlihat yang lebih seimbang bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari sisi forma (bentuk), sebab keduanya saling memiliki. Sebagaimana akal hanya satu, jika hanya satu maka tidak ada makna perbedaan. Dengan demikian, mendiskusikan perbedaan pada forma itu tidak memiliki tempat yang layak.

Lantas, dimana perbedaan laki-laki dan perempuan? Perbedaan mereka hanya pada bentuk jasmani yang hewani tersebut. Jika permasalahan hanya pada gender (seks/perbedaan jenis kelamin), mengapa tidak mempermasalahkan juga gender hewan antara betina dan jantan? Mengapa tidak mempermasalahkan juga masyarakat hewani?

Maka dari itu, perbincangan tentang kesempurnaan manusia bukan pada fokus material (gender). jika demikian maka tidak ada bedanya kesempurnaan hewan dan manusia. Dengan adanya beberapa argumentasi  yang kita bangun, harusnya kita dapat memahami bahwa gerakan feminis yang menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan tidak memiliki tempat. Sebab, sampai kapanpun dunia tetap melahirkan perbedaan. (Sunnatullah)

Sebenarnya, yang menjadi ukuran ialah dimanakah manusia akan menuju, dimanakah batas-batas kesempurnaannya? Tentu kita tidak menemukan kesempurnaan pada jasad (gender), jasad kelak akan kembali pada hal" material nan mineral. Maka, bisa jadi kesempurnaan itu melainkan kita menemukan pada forma (jiwa/potensi) manusia yaitu Jiwa manusia laki-laki dan perempuan.

Dari pengertian inilah kita melihat kesempurnaan manusia, tentunya ukuran manusia ada pada kualitas jiwanya. Dalam filsafat, kita menemukan arti jiwa, yang padanya terdapat tiga fakultas yaitu, indrawi, imajinasi dan akal. Dimensi inilah tempat dimana jiwa hidup. Kadang jiwa kita fokus pada indra, imagi dan bahkan pada akal.

Terkait bahasa perempuan yang akalnya lemah akan kita lihat kembali, apa yang dimaksud sebenarnya. Bahasa demikian sebenarnya hanya pada tingkatan akal teoritis ataupun kecendrungan banyaknya perempuan yang kita temui. Namun tak juga bisa kita kalkulasikan bahwa semua perempuan akalnya lemah.

Pengertin akal kita bisa lihat dalam tatabahasa (aqala) yang artinya mengikat. Mengikat bukan hanya bermakna pada sejarah, sosial, politik dan ekonomi. Mengikat juga bisa diartikan hubungan dengan sisi nafsu. Bahasa agama menyebutkan jihad besar ialah melawan hawa nafsu. Maka akal praktis (tindakan) itu terkait dengan mengikat hawa nafsu yang liar, bahkan yang sering kita jumpai sebagai agamawan juga ada yang korupsi. Orang korupsi tanda bahwa ia belum sampai pada akal praktis, bukankah ini pertanda akalnya juga lemah?

Maka, dari segi akal, Akal praktis inilah kesempurnaan manusia dengan ukuran penyembahan totalitas, bahasa agamanya ialah taqwa. Betapa banyak para saintis, betapa banyak ilmuan manusia memiliki akal teoritis baik dari segi perempuan dan laki-laki  membentuk sistem yang besar seperti sistem ekonomi, politik dan sebagainya, namun tidak mampu mengikat hawa nafsunya. Hawa nafsu bukan lagi di ikat dengan akal teoritis kembali, secara sederhana, akal teoritis kita tahu bahwa makanan yang tidak sehat, ataupun merokok bisa merusak tubuh kita. Namun, ketika akal teoritis sudah mengetahui hal itu, mengapa kita sendiri masih saja melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan diri kita bahkan orang lain. Oleh karena itulah, dari sisi praktisnya akal kita, diri kita ini begitu lemah dalam mengendalikannya.

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa sangat sulit jika kita menganggap diri perempuan derajadnya lebih rendah dibanding dengan laki-laki dengan alasan laki-laki memiliki akal teoritis yang tinggi, apalagi ingin membawa pengertian itu pada kehidupan sosial, ini bisa membangun cara pandang yang keliru yang tak bisa di aminkan.

Shadaqaulahul adzhim...
Bihaqqi Muhammad saw

Di kota Malang 7/8/24








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Perkaderan #2

Proyek Perkaderan #11

Proyek perkaderan #8