Cinta & Keterasingan

Cinta & Keterasingan Diri

Penulis : Alirumi


Mengapa kita bisa Jatuh cinta, apakah sebab daya tarik seseorang ataukah memang kita mendambakan dirinya agar jadi milik kita ( loving me in the other).

Pernyataan cinta yang kita ungkapan kepada objek  dicintai biasanya beriringan dengan mendambakan dan Narsistik (gambaran/pantulan diri)

Namun problem ketika jatuh cinta, kita memposisikan orang yang kita cintai sebagai objek (dambaan/perpect) dari cinta kita, selaras yang disebut zizek dengan idealisasi (ideal ego) Kita mencintai orang itu persis karena kesempurnaan yang didambakan ego kita sendiri.

Padahal, Pernyataan cinta ialah ungkapan kekurangan (lackness) diri kita pada objek yang dicintai. Maka ungkapan cinta ialah pernyataan diri akan kekurangan (lackness), Dengan kekuranglah justru kita mencintai.

Mengapa dengan kekuranganlah kita mampu mencintai? Kenapa tidak dengan kesempurnaan? Perlu kita pahami, bahwa ungkapan cinta yang kita berikan ialah suatu ruang ketidak sempurnaan diri (miss recognition).

Kita mengatakan "Aku mencintaimu" kepada seseorang, ini pertanda bahwa satu kondisi diri kita membutuhkan objek yang kita cintai untuk menutupi kekurangan yang di alami diri. Bagaikan Ucapan Salawat yang dilantunkan diri kita kepada Sang Nabi sampai ratusan kali setiap harinya bahkan ribuan kali. Apa tujuan kita? Setidaknya ada yang menginginkan keberkahan, amalan, dll. Ini tanda bahwa diri kita kekurangan (lackness).

Ataupun........
Bahasa percintaannya ialah : Orang yang mencari pasangan yang sempurna (idealisasi) tentu ia tak akan menemukannya. Justru Orang-orang berpasangan atau mencari pasangan ialah saling menutupi kekurangan satu sama lainnya. Setelahnya ialah proses menuju kesempurnaan.

Meminjam ungkapan Jacques lacan, adanya hasrat imajiner diri kita pada objek yang dicintai, cinta bagaikan ilusi yang dimana kita menginginkan objek tersebut berdasarkan pandangan tentang diri kita (perasaan kesamaan/kecocokan).

Oleh Karena adanya keinginan diri kita untuk bersatu pada objek dicintai, sehingga subjek yang mencintai membangun suatu citra dirinya (narsistik) pada objek, alhasil subjek pecinta ingin berada atau bersama-sama dengan objek yang dicintainya.

Keinginan diri Kita untuk berada didalam objek yang dicintai atau bersama-sama dengan objek dicintai ialah untuk memungsikan objek yang dicintai menutupi kekurangan diri kita.

Memungsikan objek yang dicintai untuk menutupi kekurangan si pecinta ialah syarat mengapa kita bisa mengungkapkan perasaan cinta. Cinta tak hanya menunggu yang sempurna (idealisasi), namun sempurnakanlah yang ada sebagai orientasi cinta (menyempurna).

Bagi jaques Lacan, cinta ialah lambang keterasingan diri. Orang yang mencintai, ia tak akan mengenal atau hilang pengenalannya terhadap objek yang di cintai. Layaknya di mabuk kepayang, akal yang tak berfungsi lagi, jadi apapun dari yang dicintainya ialah kesempùrnaan. Oleh karena itu, bagi jacques lacan cinta bagaikan kontradiksi diantara Yang Nyata dengan yang Simbolik. Kita bisa melihat kenyataannya, namun imajinasi cinta menjadi perasaan ngga karu karuan (perasaan yang dipikirkan).

Jika hanya yang kekuranganlah yang mampu mencintai . lantas, bagaimana dengan Kesempurnaan?

Jacques Lacan menekankan pemikirannya pada ilusi yang diakibatkan oleh ideal kebersatuan antara subjek dengan objek di dalam cinta. Cinta diposisikan sebagai hasrat imajiner (imaginary passion) yang menyangkut perasaan cinta kepada ‘the other’ yang citranya kita bangun berdasarkan pandangan tentang diri kita sendiri.  Dengan kata lain cinta bukan lain adalah suatu mekanisme narsisitik, dimana subjek mencintai citranya sendiri di dalam objek yang dicintainya (loving me in the other).  

Lacan mengatakan bahwa cinta adalah fenomena yang mengambil tempat di instansi ‘yang imajiner’. Cinta adalah perasaan akan ‘kesamaan’ dengan/bersama seorang lain. Dalam proses formasi subjek, the other yang dicintai oleh si subjek dipandang sebagai keseluruhan dimana si subjek ingin berada di dalamnya. Kita mencintai objek yang dapat kita fungsikan untuk mengompensasi ‘kekurangan’ kita.

Analisa Lacan ini , memang secara khusus ditujukan untuk melihat cinta sebagai gejala narsistik. Pada titik ini, fungsi pandangannya mengenai cinta  berguna secara ‘klinis’ untuk menghadapi sisi gelap cinta. Dengan memosisikan cinta di dalam instansi yang imajiner (the imaginary),  maka Lacan mengenakan cinta sebagai bagian dinamika turun naik dari kontradiksi antara ‘yang nyata’ dengan ‘yang simbolik’. Maka Cinta adalah lambang keterasingan di mana subjek ‘secara sadar’ tidak menyadari misrecognition  yang ia kenali di dalam objek yang ia cintai.

ShadaqaullahulAdzhim
Bihaqqi Muhammad Saw...

Malang, 16/8/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Perkaderan #2

Proyek Perkaderan #11

Proyek perkaderan #8