Hijab Diantara Keindahan & Keagungan Tuhan
Hijab diantara Keindahan & Keagungan Tuhan
Penulis : AlirumiSELAYANG PANDANG TENTANG HIJAB
Apa itu hijab? Apakah hijab sama dengan jilbab dan kerudung? Apakah hijab adalah sesuatu yang pasti dan hanya berkaitan pada perempuan saja? Apakah laki-laki tidak perlu berhijab? Pertanyaan-pertanyaan diatas tentu pertanyaan yang sederhana dan mendasar sebagai umat beragama khususnya terhadap muslim. Meski sudah cukup banyak referensi terkait hal itu, mungkin sebagian kita kesulitan membedakan jilbab dan hijab, kerudung masih kerap terjadi. Bahkan ketika menjelajahi pendapat-pendapat yang bertebaran di dunia maya dan mungkin biasa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari jilbab dan hijab, serta kerudung seperti 3 hal yang identik pada perempuan.
Dalam banyak kasus, sebagian kita yang mencela perempuan berjilbab tetapi perilakunya masih penuh dengan negasi-negasi terhadap perintah agama. Kepala dikerudungkan, tetapi kelakuan bebas main dengan laki-laki manapun. Rambut dikainkan, tetapi sibuk membangkitkan nafsu birahi para mata keranjang. Berjilbab tetapi hatinya busuk bak bangkai. Berjilbab tetapi kok suka menggoda pasangan orang? Berjilbab kok senang jadi pelakor? Memang, ada kecenderungan tuntutan sosial dimana perempuan yang sudah mengenakan jilbab harus menyesuaikan perilakunya dengan jilbabnya, dan bagaimanapun jilbab itu menjadi satu representasi hati perempuan yang ditunjukkan melalui akhlaknya. Dan ini sah-sah saja sebagai satu fitrah yang mana kita ingin melihat segala sesuatunya secara sempurna, kalau sudah pakai jilbab ya harusnya batasi pergaulan. Kalau tidak, percuma pakai jilbab. Lontaran ungkapan diatas banyak kita temui di kehidupan sosial kita, tentu opini seperti itu tidak asing lagi, setidaknya bagi saya ataupun anda yang pernah mendengar dan mengalaminya.
Hijab adalah pakaian perempuan muslim yang dijelaskan didalam islam berhijab diwajibkan bagi perempuan untuk menjaga fitrah mereka, disisi lain, didalam islam perempuan memiliki kedudukan yang terhormat,dan diantara penghormatan islam terhadap perempuan adalah disyariatkannya hijab bagi para muslimah, alhasil dengan demikian para perempuan muslimah tidak menjadi bahan tontonan banyak para laki-laki yang melihatnya.
Meminjam ungkapan Quraish Shihab yang dikutip dari ulama tafsir Al-Biqa'i bahwa ada beberapa makna hijab, diantaranya baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita. menurutnya, kalau hijab diartikan baju maka ia adalah pakaian yang menutupi tangan dan kaki, tetapi kalau hijab diartikan KERUDUNG maka ia perintah mengulurkannya sampai kepada wajah dan leher.
Istilah hijab Memang populer dikalangan bangsa timur tengah, hijab yang secara etimologi yaitu hajaba atau menutupi/penghalang/tirai pembatas/tabir, kini lebih dikenal dengan istilah sederhana oleh masyarakat yaitu kerudung, jilbab, hijab dengan makna yang sama seperti menutupi kepala, tidak menutupi muka, namun juga menutupi bagian leher.
Hijab pada dasarnya ialah trend yang fenomenal yang seharusnya dikenakan oleh muslimah sebagai bentuk ekspresi kesopanan iman. Yahh, walaupun ada beberapa negara yang mewajibkan seperti iran, afganistan, arab saudi, walaupun pada perkembangannya arab saudi sudah mencabut aturan dan tidak mewajibkan lagi perempuan mengenakan hijab sejak 2018 yang lalu. Tentu gerakan ini pastilah di topang dengan beberapa kelompok islam reformis yang dimana melihat jika negara memaksa untuk perempuan mulismah untuk diwajibkan berhijab maka perempuan sedang mengalami tekanan secara Hak nya dalam pilihan mau memakai hijab ataupun tidak. Dan hal ini bukanlah tanpa alasan mengapa para islam reformis berbicara, karena bagi mereka hijab dalam Al-Qur'an berarti "pembatas" dan digunakan dalam latar belakang pria dan wanita dan Al-Qur'an hanya menyarankan cara memakainya, dan tidak menetapkan kewajiban untuk menggunakannya. Tentunya pembacaan alquran ataupun tafsirnya menjadi persoalan dikalangan antara pro dan kontra terkait hukum wajib dan tidaknya hijab bagi perempuan.
Menurut beberapa pandangan ulama, jilbab adalah busana yang menutupi seluruh tubuh perempuan kecuali wajah dan telapak tangannya. Bisa dikatakan jilbab adalah hijab dalam arti sempit yang berkaitan dengan muslim perempuan. Sedangkan hijab dalam arti luas tidak diartikan perihal busana yang sifatnya artifisial saja, lebih dari itu bagaimana relasi kita satu dengan yang lain berkaitan dengan perempuan dan laki-laki terjalin secara layak sesuai dengan tuntunan dan batasan-batasan yang diberikan (hijab).
HIJAB DALAM TINGKATAN PERSEPSI
Hijab diartikan lebih luas menjelaskan bahwa pada manusia terdapat pandangan atau persepsi yang juga luas tidak dibatasi sebatas pandangan fisik saja. Studi teleologi persepsi menyebutkan ada tiga tingkatan persepsi. Selain persepsi indrawi, ada persepsi imajinasi dan persepsi akal. Apakah ketidak kelihatan mata kita dalam aktivitasnya mempersepsi perempuan meniadakan imajinasi tentang perempuan? Apakah tidak melihatnya mata kita dalam mempersepsi perempuan berkaos ketat dan celana pendek, menghilangkan imajinasi kita tentang perempuan seksi yang aduhai?
Didalam persepsi indrawi, kita mungkin lebih mudah menundukkan pandangan mata. Ketika objek persepsi pergi, maka hubungan persepsi mata kita terhadap objek itupun berakhir. Akan tetapi, dalam ruang imajinasi objek-objek yang kita persepsi itu terabadikan sekalipun objeknya tidak berada didepan mata kita lagi, Melalui daya imajinasi, jiwa mampu membangun konstruksi dan inovasi. Di tahap ini apa yang dilihatnya secara kasatmata mampu dikreasikan. Imajinasi menjadi salah satu faktor kuat yang mendorong manusia dalam berbuat. Imajinasi yang tidak terkendalikan tentu akan mendorong banyak penyimpangan sehingga mengendalikan imajinasi menjadi salah satu hal yang penting pembahasan hijab dalam filsafat dan relevansinya dengan kehidupan sosial.
Sederhananya, antara jilbab dan perilaku seringkali dilihat dua hal yang secara konstruksinya sebagai kesatuan yang terhubung secara sistemik. Sejalan dengan perempuan yang pakai jilbab seperti itu pula akhlaknya harus menunjukkan identitas kemuslimahannya. Hal ini meski ideal dan kita harapkan bersama, juga sekaligus menggugah cara pandang kita yang mungkin terlanjur sudah mapan.
Tentu, kita memiliki keyakinan terhadap jilbab sebagai hukum syariat yang patutnya menjaga perempuan terutama dari pandangan jahat agar mereka jauh dari objek eksploitasi. Tetapi secara praktis kita tidak bisa menutup mata akan fakta-fakta lapangan yang menunjukkan sejumlah kasus pelecehan/perendahan yang terjadi pada perempuan sekalipun mereka berjilbab hanya karena keyakinan kita terhadap hukum syariat.
Artinya, melalui kenyataan sosial hari ini, kejahatan atau keburukan justru membuktikan bahwa perilaku-perilaku negatif itu sama sekali tidak memandang apakah perempuannya berjilbab atau tidak berjilbab. Sebagai sebuah fakta Sejarah kita sudah menjawab akan hal itu, tanpa kita perlu mengemukakan dalil-dalil atau teori-teori yang canggih. Mereka yang hatinya berpenyakit tidak segan dan tidak peduli, saat produksi nafsu meningkat, mereka bisa menyerang siapa saja yang ada dihadapannya, entah tubuh itu tidak terbalut kain, dan betapapun tubuh itu ditutupi kain.
Contoh kasus yang sering terjadi di wilayah malang, sering terjadi pembegalan payudara, apakah dalam kasus ini perempuan tidak mengenakan jilbab? Pada kenyataannya perempuan" mengenakan jilbab cendrung menjadi objek pembegalan tersebut. Siapa yang salah? Apakah perempuan nya ataukah sipelakunya? Dalam kacamata studi persepsi, perlunya diri kita mengetahui kadar ataupun batasan-batasan (hijab) dalam relasi sosial, pembegalan terjadi bukan karena perempuan nya tidak pakai jilbab, tapi pelakunya yang melihat sebatas ruang-ruang persepsi indrawi, maka ekploitasi hasrat pada diri memungkinkan bertindak negatif, seperti kasus diatas, dan hal ini terlepas dari jilbab dan tidaknya.
KEINDAHAN & KEAGUNGAN TUHAN DIBALIK HIJAB
Fenomena artis hijrah menjadi menarik perhatian publik, mulai dari anak band yang dulunya rocker menjadi ustadz dan ustadzah, artis yang non muslim menjadi muslim alias mualaf juga tak luput dari sorotan masyarakat. Berbagai macam komentar netijin yang pro dan kontra tentang arus fenomena agama tersebut. Yang tak kalah penting apalagi artis yang buka tutup hijabnya, ini menjadi sasaran para masyarakat digital.
Bagi kelaster masyarakat kelas menengah, seperti mahasiswa. Fenomena hijab juga menjadi tak kalah menariknya, jika kita melihat pada dunia kampus yang berkonotasi sekuler atau yang kurang islami, hijab kurang mendapatkan porsi sebagaimana kampus-kampus islami mengaminkannya. Tentu beragam fenomena tentang aturan hijab perlu kita syukuri, sebab paling tidaknya ini menjadi suatu pandangan korektif tentang kesadaran akan pengahayatan keberagaman ini.
Hijab dalam pandangan ekologis dan kosmologis merupakan suatu semangat perlawanan dan penolakan terhadap arus perkembangan budaya asing yang sedang menimpa kehidupan serba digital, merk pakaian mewah dan cara berpakaian kita. Dengan adanya hijab mungkin ada semacam proses jati diri untuk menjadi muslimah ideal.
Dan dalam perspektif islam tradisional yang pemikirannya dikembangkan oleh sayyid hosein nasr, ia melihat hijab dalam segi ke sakralan. Bagi nasr, perempuan berhijab bukan hanya sebatas ditutupi kain semata, akan tetapi juga memiliki semangat melawan terhadap modernisme yang kian memisahkan kaum muslim dengan yang Transenden (ilahi).
Sebagian kita yang mengidap penyakit takut ketinggalan trend alias Fomo, apalagi budaya tentang pakaian. Ketika gelombang fashion yang berkembang didunia eropa, kini mulai masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat muslim. Dulu kita melihat, bagaimana pakaian perempuan-perempuan maroko sampai semenanjung Malaysia, sebagian besar pakaian yang ditampilkan begitu indah nan menawan yang Memantulkan feminitas yang selaras dengan nuansa islam. Dan setelah datangnya perubahan modernism yang membuat para perempuan melepaskan berpakaian yang lama termasuk jilbab mereka dan mengenakan pakaian ala-ala eropa yang lebih terbuka dan menggoda.
Persoalan-persoalan modernism yang mengubah cara pandang masyarakat muslim, terlebih lagi ialah perempuan. Penulis The Tao Of islam yaitu Sachiko Murata menjelaskan dengan syarat antusias melihat kepentingan perempuan muslimah untuk menutupi aurat mereka. Sachiko Murata mengungkapkan bahwa keindahan dan kecantikan Tuhan Termanifestasi Dalam Diri Perempuan, semakin perempuan tersebut menjaga keindahan dan kecantikaannya, maka dalam pandangan kosmologis perempuan tersebut seolah-olah menutupi keindahan Tuhan.
Namun sayangnya kesadaran perempuan yang mengenakan hijab belum sampai pada apa yang dimaksudkan oleh Sachiko Murata. Bisa kita lihat dalam tataran praktis, sebagian perempuan berhijab namun pakaian tipis serta bentuk lekuk tubuh nya termpampang terlihat, dalam istilah lainnya menyebutkan fenomena ini ialah berpakaian tetapi telanjang. Dalam hal ini tentu baik-baik saja, karena masih berpakaian, akan tetapi hal ini kurang memenuhi ke sempurnaan perintah syariat saja.
Tentu islam tak melarang kita untuk menikmati sebuah kemajuan dan perkembangan zaman. Namun apakah dengan alasan modernism perintah syariat harus kehilangan Ruh nya? Pada dasarnya berhijab untuk menutupi keindahan Tuhan yang tidak sepantasnya dilihat oleh "laki-laki". Dan keindahan itu akan diperlihatkan kepada mereka yang berhak yakni suaminya.
Tentunya bagi perempuan muslimah yang memiliki kesadaran tentang hijab, hijab bukan hanya sekedar perintah" fikih agama. Akan tetapi lebih dari sekedae itu, hijab menunjukan makna kedalaman esoteris, suatu rahasia keindahan yang ingin menyembunyikan keindahan ilahi kepada lawan jenis dan kelak menghadirkan keindahan itu kepada lelaki yang sah.
Ala kulli hal, mungkin tulisan ini hanyalah uraian singkat yang jauh dari kemapanan. Ditengah arus modernitas begini, sebagai suatu tantangan zaman bagi masyarakat islam, terutama manusia laki-laki dan perempuan perlu menyadari makna hijab, hijab bukan sekedar artifisal fisik, namun ia juga kesadaran batin manusia dalam menjaga perbuatannya dalam relasi sosial. Kita mengetahui bahwa hijab dalam makna yang hanya bukan sekedar kain" yang menutupi kepala. Hijab bagi seorang muslimah juga memiliki akar spritual yang lebih dalam lagi, yaitu menyembunyikan keindahan ilahi, menyembunyikan bukan berarti menghilangkan eksistensi ilahi pada realitas luar, tapi justru penyembunyian itu sebagai salah satu perempuan menjaga keindahan tersebut.
Dan disisi lain penjagaan itu tentu memiliki tujuan agar kelak perempuan mampu melihat keagungan ilahi pada laki-laki, Mengapa laki-laki? Karena laki-laki lah penjagaan (penghijab) tersebut. Dalam perspektif kosmologi, perempuan dalam kecendrungan hatinya, dan hati tidak memiliki logika yang sebagaimana dimiliki akal, maka hati perlu dibimbing dalam perbuatan"nya. Laki-laki sebagai penghijab ia seharusnya mampu mengantarkan hati (perempuannya) kepada kedetakan pada sang ilahi (makrifatullah). Namun dalam kosmologi, tentulah ikatan spiritual begini melalui pernikahan. Sehingga, melalui jalan spiritual (pernikahan) akan menampilkan wajah jalaliyah dan jamaliyah nya Tuhan dalam dirinya.
baik perempuan dan laki-laki ia perlu membangun keseimbangan dalam relasinya dan keseimbangan disini baik di ranah sosial maupun dalam unit terkecil masyarakat yaitu keluarga.
Shadaqaulahul adzhim...
Bihaqqi Muhammad saww...
Di kota Malang 26/07/24
baik perempuan dan laki-laki ia perlu membangun keseimbangan dalam relasinya dan keseimbangan disini baik di ranah sosial maupun dalam unit terkecil masyarakat yaitu keluarga.
Shadaqaulahul adzhim...
Bihaqqi Muhammad saww...
Di kota Malang 26/07/24
Komentar
Posting Komentar