Penyakit Yang Tak Sakit

Makna Derita

Derita yang Indah

(Penyakit Yang Tak Sakit)

Penulis : Rumi Ali Ahmad


Derita ialah kata yang makna nya sering dianggap sebagai konotasi yang negatif. Acapkali manusia tak ingin mendapatkan Derita, maunya hanya Senang saja tanpa adanya masalah. Kehadiran masalah beriringan dengan derita yang tak di inginkan sebagian manusia. Manusia akan selalu menghidar dari apa yang namanya DERITA. Derita Layaknya keburukan yang harus di cegah, dihindari bahkan sesuatu yang kalau perlu jangan pernah ada di kehidupan manusia.

Sebagaimana fenomena Orang-orang ketika melihat yang dibawah dari dirinya dianggap sebagai suatu kesusahan, atau lebih menderita dari kehidupan nya. Contohnya : ketika kita hidup yang enak beralaskan kasur yang empuk dan selimut yang tebal serta makanan yang tercukupi. Namun di satu sisi, ada pula kehidupan yang hanya beralaskan tanah dan beratapkan langit, yang diselimuti dengan panas dan kedinginan. Alhasil kita yang hidup enak, melihat ada yang dibawah dari kehidupan yang kita jalani, ia kita lihat sebagai suatu kehidupan yang penuh kesusahan dan menderita dari kehidupan kita.

Namun, apakah Derita Hanya bermakna Negatif? Sehingga kebanyakan dari kita menghidari hal itu. Padahal lokus kemanusiaan juga ada pada Derita. Dari derita kita bisa membedakan mana manusia dengan manusia lainnya (kemanusiaan). Dikatakan Manusia
Apabila ia yang bisa merasakan derita dari manusia lainnya, manusia bukan hanya yang berkepala satu, berbadan tegap dan dapat berbicara, namun kehilangan kemanusiaan nya. Manusia dalam arti begini tidak ada bedanya dengan yang hanya sekedar lukisan manusia yang berada dinding yang tak dapat merasakan derita.

Meminjam ungkapan Syariati : jika kau mampu merasakan derita, berarti kau hidup. Jika kau bisa merasakan derita orang lain berarti kau MANUSIA.

Para urafa telah lama berbicara tentang derita, bahkan bahasa agama sudah menjelaskan pula apa makna dalam derita. Kayaknya, kita ini perlu melihat makna derita dalam filosofis/hikmah biar kita juga tak pesimis dengan masalah yang menimpa diri kita yang bertubi-tubi ini. Memang tulisan ini tidak bermaksud mengajak hadirin pembaca larut dalam derita, apalagi menghidarinya. tentu tak baik pula. Bukankah kehidupan yang realistis ialah berada dua kondisi, yaitu antara senang dan susah, antara bahagia dan tidak bahagia, antara menderita dan tidak, dll.

Di sore kemarin Sepintas video yang lewat di beranda layarkaca youtube, saya mengklik dan mencoba menontonya karena korban thumbnail. Ketika saya tonton  ternyata banyak anak kecil, orang dewasa serta oranh tua menangis sambil menikmati shalawatan. Saya tak tau apakah mereka menangis karena kerinduan (menderita) terhadap kekasih (Allah,Rasul) ataukah mereka menangis karena  Yang lain juga menangis (kondisi) sehingga tangisan itu mempengaruhi situasi batin seseorang. Ataukah mereka menangis karena sudah banyak beban hidup, kemudian kondisinya juga mendukung, sehingga air mata ialah bahasa terakhir cara mengungkapkan nya.

Terlepas dari Motif nangis tersebut. Namun, Ada caption yang menarik di dalam video itu yang membuat saya melanjutkan tulisan ini, kalau tak Salah itu quotes tersebut ungkapan penyair besar yaitu Maulana Rumi : "Terkadang yang membuat dirimu gelisah, bukanlah musibah yang sedang menguji dirimu, tetapi bahasa rindu Tuhanmu yang gagal kau Pahami".

Mungkin sebagian dari kita hanya berbeda sudut pandang saja memaknai tentang Derita. Maka, sudut pandang (pengetahuan) menjadi penting bagaimana kita menyikapi sesuatu.

Dari Hal tersebut selaras dengan apa yang dipahami oleh para sufi tentang Derita. Para sufi memaknai derita dengan kerinduan terhadap kekasih, Derita mengenal Allah (Makrifatullah). Bagi mereka (sufi) derita jenis ini ialah hal yang istimewa yang dimiliki manusia dibanding mahkluk lainnya, tapi sangat sedikit dari kita yang bisa memahami ujian-ujian yang datang (derita) sebagai tanda Tuhan Merindukan hambanya. Malahan ketika ada masalah, kita lari dan menghindar sebisa mungkin. Justru kita mengelak dari ujian tersebut, dengan ucapan yang keluar dari mulut kita, Ya Allah janganlah kau berikan aku ujian seperti ini.

Mungkin setiap dari kita pastilah pernah mengalami derita. Derita yang menimpa diri kita pastilah tak akan keluar dari kemampuan kita. Artinya, derita yang datang levelnya tak jauh dari kapasitas diri kita. Semakin tinggi pengetahuan ataupun semakin tinggi metafisika (khuduri), kayaknya semakin berat kehidupan dan semakin banyak menghadapi masalah.

Melihat kehidupan para Nabi, seperti Muhammad, Isa, Ibrahim dll, mereka bukanlah orang" yang senantiasa banyak santai nya, bisa kita lihat informasi sejarah, kehidupan para Nabi penuh dengan Ribuan Cobaan yang begitu berat, dilempar pake batu, dilempar kotoran tapi tak membalas, di bakar, di makan ikan, mau dibunuh, di caci maki dll.

Mungkin Saat sekarang, manusia biasa seperti kita-kita ini, ketika ada satu masalah seperti dikejar deadline tugas kuliah atau dikejar pinjol saja, aii setengah mati sudah, bahkan ambil langkah seribu buat lari dari masalah. Itu baru 1 masalah belum seribu masalah yang datang. Mungkin kalau seribu masalah yang datang, usaha kita melarikan diri dari masalah lebih dari seribu langkah lagi, bisa jadi sudah ratusan ribu langkah😄

Kalau kita bertanya, emang kenapa kalau kita punya masalah? Apa masalahnya kalau kita punya masalah? Kalau ada orang yang tak pernah punya masalah justru hal itu yang bermasalah. Padahal, masalah yang menimpa diri ialah sebuah teguran buat diri kita. Bahwa kita masih banyak kurangnya. Maka Masalah adalah sarana untuk kita senantiasa mengoreksi diri dan salah satu jalan menyempurnakan diri.

Cerita yang menarik metafora derita yang ditulis rumi dalam karya Matsnawi : "Seekor gajah yang di datangkan dari india ia harus di pukul bahkan di cambuk, jika tidak dilakukan seperti itu. Ia akan teringat pada habitat sebelumnya (india) yang akan membuatnya tidak mau makan, minum, tidur hingga sampai tiba kematiannya".

Rumi mengatakan bahwa gajah hanya memimpikan india, karena ia berasal dari sana. Sedangkan manusia
Yang selalu gelisah, dan berharap kembali pada dunia asalnya. Manusia mengalami derita (kerinduan) untuk segera menemui tempat sejati dan kekasih abadinya (Allah swt).

Begitulah penderitaan manusia, dunia ialah ladang manusia menanam kebaikan dan segenap derita yang di hadapinya. Namun dengan kehidupan dunianya serta deritanya itu, manusia kelak akan kembali ke ladang akhirat guna memetik usahanya yang telah ia perbuat didunia ini.

Terkadang dikehidupan ini, kita tak bisa memungkiri bahwa diri kita pernah mengalami gelisah, bimbang, kegalauan, murung, sedih, dll. Ketika kita dihampiri rasa-rasa begitu. Justru kita mencari obatnya dengan pergi ke tempat" wisata, tempat hiburan atau ke tempat yang bisa mengalihkan perhatian kita dari hal-hal yang di atas tersebut. Akan tetapi, obat yang kita cari ternyata dosisnya tidak terlalu kuat, nyatanya selepas dari ke tempat wisata, hiburan, demi mengalihkan dan alih-alih ingin mendapatkan ketenangan. Justru ketenangan itu hanyalah sesat. Selepas itu, kegalauan, sedih, murung, gelisah, bimbang dll, datang menghampiri lagi.

Apa iya ada obat yang abadi dari luka nestapa manusia didunia ini? Tentu iya, tak mungkin ada luka tiada obatnya. Asalkan kita mau berusaha mencarinya (optimisme) namun jangan sampai saja kita larut dalam luka (pesimis) sehingga luka (derita) bukan menjadi optimisme kita untuk menemukan obat kebahagiaan di dalamnya. Sebagaimana alquran mengatakan : Setiap didalam kesusahan pasti ada kemudahan. Maka tak mungkin jika ada derita tak ada obatnya pula.

dari mana derita itu muncul? Tak mungkin ada derita begitu saja datangnya. Pastilah kemunculan sebuah Derita yang di alami manusia memiliki sebabnya. Seperti halnya kita ditimpa musibah seperti sakit, katakanlah demam, bisa saja demam bukan datang begitu saja sebagai sebuah derita yang menimpa fisik kita. Tapi ada sebab-sebab ilmiahnya seperti kebanyakan begadang, makanan yang tak sehat, kurang minun air putih, jarang olahraga dll. Artinya, derita yang datang setidaknya bisa kita lihat dari sebab-sebab ilmiah yang ada pada diri kita. 

Metafora agama mengatakan ketika kita ditimpa penyakit bahwa Allah lagi mengurangi dosa" kita yang pernah dilakukan baik sengaja ataupun tidak didunia ini. Sederhananya dengan adanya derita ialah sebuah sarana membersihkan jiwa kita dari belenggu-belenggu dosa yang ada. Tuhan maha kasih, dia tak mau hamba"nya kembali pada dirinya dengan berlumuran dosa.

Oleh karena itu, dengan adanya derita bukan menyiksa diri kita. Justru derita ialah sarana penyucian jiwa. Walaupun fitrah manusia tak menginginkan derita namun hanya ingin bahagia saja. Maka, dengan adanya derita, kita bisa lebih menjaga fitrah dalam diri ini agar tetap berada pada koridornya. Ketika fitrah menemukan nilainya (kesucian) maka derita bisa kita minimalisir, sebagaimana kita mengetahui bahwa berbuat jahat itu tidak dibenarkan, maka dengan landasan pengetahuan kebenaran yang kita miliki, kita bisa bertindak dengan lebih berhati-hati lagi demi menjaga diri kita agar tidak berbuat jahat atau negatif lainnya.

Setiap orang pasti punya level deritanya, maka mengetahui kadar diri kita akan menjadi lebih baik untuk menyiapkan diri menerima derita yang datang, karena derita seringkali di anggap negatif dan tak di inginkan. Maka, memahami diri pintu awal mengetahui derita. Derita laksana penyakit, kedatanganya tak di inginkan, kepergiannya ialah ketenangan bagi diri. Namun bagi orang yang berakal, derita bagaikan taman-taman bunga indah yang di nanti para kekasih.

Shadaqaulahuladzim....
Bihaqqi Muhammad saww.

Di kota Malang, 28/3/24








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Perkaderan #2

Proyek Perkaderan #11

Proyek perkaderan #8