Aku, Kamu & Waktu

Memaknai Eksistensi Diantara Waktu dan Persepsi

(Aku Diantara Kamu & Waktu)

Penulis : Alirumi

Saya ingin membuka tulisan ini dengan mitologi yunani, selain di yunani terkenal peradaban filsafatnya, namun mitologinya juga tak kalah menarik. Mungkin sebagian kita mengetahui bahwa mitologi dewa-dewa di yunani menjadi hal yang familiar di telinga kita. Seperti dewa zeus, thor, poseidon, hera, hades dll.

Dikisahkan terkait tentang waktu, dalam mitologi yunani
Zeus dikabarkan sebagai penakhluk (dewa waktu) yaitu kronos. Kronos semulanya adalah golongan titan generasi sebelum zeus. Kronos adalah anak dari dewa langit dan bumi yaitu Gaia dan uranus. Gaia dan uranus memiliki 12 anak dan salah satunya ialah Kronos tersebut. Kronos diceritakan sebagai sosok yang termuda dan terkuat dari 12 saudara tersebut. Dan ketika terjadi perang antar titan, dewa-dewa dan di perang itu kronos memakan semuanya termasuk, poseidon, hades, dan hera, terkecuali zeus. Namun diketahui bahwa circle di Olympus (dewa-dewa) yang terkuat ialah salah satunya zeus. Sehingga ditangan zeus lah kronos (dewa waktu) terbunuh. Dari cerita ini, mungkin bisa diambil kesimpulan bahwa jika diri kita dikalahkan dengan waktu, maka waktulah yang akan menelan dan memangkas kualitas diri kita.

Perjalanan manusia begitu panjang tuk dilaluinya, manusia tidak akan bisa hidup dalam dua kalinya dalam waktu yang sama. ia tak bisa mengulang apa yang telah terlewati oleh dirinya.  Manusia yang eksistensial berada pada ruang dan waktu, oleh karena itu, mengapa waktu menjadi sangat berharga bagi kualitas kehidupannya.

Ada Ungkapan menarik dari bintang komedi Indonesia yaitu Dono warkop DKI : "Waktu ialah kado terbaik yang diberikan seseorang kepada kita. Saat seseorang memberikan waktunya, Dia memberikan bagian dari hidupnya yang tak bisa diambil kembali olehnya"

Mengapa waktu begitu penting? Sebab Waktu kan melihatkan wajah sejatinya kehidupan kita. Apakah kita begitu" saja ataukah kita mengalami satu evolusi diri yang baik.

Persoalan Waktu selalu saja menjadi pembahasan oleh para filosof, semisalkan di era yunani dulu sudah membahas waktu, mulai dari Demokritos,Plato, Aristoteles,

Dan dibaratnya ialah Immanuel Kant, Newton, Einstein, Stephen Hawking, heidegger, dan kemudian ada pula Agustinus,Ibnu Rusyd,bahkan Imam Ghazali dll, dengan gaya pembahasan gagasan mereka masing-masing terkait Waktu. Dan mungkin kita hanya melihat dari beberapa perspektif tokoh tertentu saja terkait pembicaraan tentang waktu. niat Ingin dibahas lebih banyak, maklum, teman-teman juga malas membacanya.😅

Kalau kita bertanya apa itu waktu, mungkin dalam benak kita waktu adalah seperti Jam, kalender,WIB,WIT, WITA, pagi, siang, sore ,malam,atau waktu makan,waktu tidur,waktu pacaran, akan tetapi ketika disodorkan dengan pertanyaan, waktu itu apa? Mungkin sebagian kita kebingungan untuk menjawabnya. Kalau ngga percaya coba saja tanyakan ke diri anda, waktu itu apa?

Seperti waktu yang dibutuhkan bumi untuk berputar sepenuhnya ialah 24 jam dalam satu harinya, jadi, dari 24 jam itu, apa yang kita bisa lakukan, menginvestasi atau menghabiskannya untuk apa? Apakah dengan Rebahan, Tidur, makan bersama dengan keluarga, kerja, berdialog/berdiskusi dengan teman, olahraga, membaca buku, menulis, memainkan alat musik,  menyanyikan sebuah  lagu, ngegame, belajar bahasa asing, perkopian duniawi, nongkrong, berduan sama kekasih, masak-masak, dan seterusnya. Itu adalah bentuk investasi waktu kita.

Ini sebuah pertanyaan sederhana yang menjadi pusat perhatian banyak pemikir sejak dahulu.Tidak mudah memberikan definisi mengenai apa itu waktu. Jam, kalender, pergantian hari, bulan, dan tahun, bukanlah waktu itu sendiri; semua itu adalah sekedar penunjuk  waktu, atau pengukur waktu. Dengan alat-alat atau instrumen-instrumen itu, waktu dikuantitaskan, dibuat menjadi objektif dan universal. Tapi, apa itu waktu?

Salah satu Jawaban diberikan oleh Agustinus terkait waktu : “Kalau tidak ada yang bertanya kepada saya mengenai apa itu waktu, saya tahu apa itu waktu. Tapi kalau ada yang meminta penjelasan kepada saya mengenai apa itu waktu, saya menjadi tidak tahu.“

Kira" begitulah ungkapan Agustinus. Bukankah Kita sering sekali dalam percakapan menggunakan kata waktu. Misalnya: waktu saya mepet sekali, waktunya sudah tiba, saya tidak ada waktu, dll. Pernyataan itu memperlihatkan bahwa kita memiliki pengetahuan mengenai apa itu waktu. Tapi ketika ada orang meminta kepada kita untuk memberikan definisi mengenai apa itu waktu, kita selalu kesulitan untuk mendefinisikannya.

Tak lepas dari itu, aristoteles mencoba menguraikan tentang waktu. Dia memahami waktu seperti Sebuah Box besar yang menjadi wadah penampung terjadinya peristiwa-peristiwa. Contohnya, anniversary pacaran laki-laki dan perempuan ditahun 2024. Di Tahun 2024 tersebut dipahami seperti box besar/wadah besar yang mengandung pristiwa perjalanan pacaran tersebut.

Adapun dengan immanuel kant salah seorang yang disiplin, bahkan ia dikenal pula sebagai dosen waktu, karena ia sebagai pengajar yang selalu disiplin jika berbicara waktu. Ia mengatakan bahwa waktu itu tidak terdapat di luar diri manusia; waktu itu terdapat secara apriori dalam diri manusia, dan karena sudah apriori terdapat dalam diri, maka kita dapat menggunakan kategori-kategori waktu dalam percakapan, misalnya ungkapan: perubahan, sebelum, sesudah, lambat, cepat, bersamaan, dll, itu merupakan satu kondisi dimana kita bisa mengatakan fenomena tersebut sebab adanya apriori waktu pada ruang pikiran kita.

Begitu juga dengan Heidegger dibukunya yang fenomenal tentang being and time (wujud dan waktu). Ia mengatakan bahwa waktu tidak lain dari bentuk eksistensi manusia yang bersifat triadik, masa lalu, masa kini dan masa depan. Manusia eksis, artinya, manusia yang keluar, menjadi mewaktu. Manusia itu sendiri tidak memiliki waktu, tidak berwaktu, melainkan mewaktu. Manusia ada dengan mewaktu. Ungkapan berwaktu menggambarkan seakan-akan manusia lebih dulu ada lalu kemudian dia “mengenakan“ waktu, sebagaimana kalau kita mengatakan misalnya bersepeda atau berpakaian. Sedangkan Ungkapan mewaktu berarti bahwa manusia ada, eksis, dengan mewaktu. Manusia adalah kemewaktuan itu sendiri. Waktu itu tidak dikenakan kemudian dalam perjalanan hidupnya, melainkan bahwa ia sendiri mewaktu. Eksistensinya menjadi asal-usul kemewaktuan itu sendiri.

Bagi heidegger berbicara tentang waktu, waktu ialah bukan sesuatu yang disana (diluar diri manusia) namun ia berbicara kedisinian (pada diri manusia itu sendiri). Ia mencontohkan, bagaimana ketika waktu anda di saat rebahan dan diwaktu anda menemani atau dalam perjalanan anda mengantarkan ibu anda sedang kritis ke rumah sakit. Maka kedua kondisi itu tentang waktu pastilah berbeda, ketika anda mengantar ibu anda kerumah sakit tentulah waktu begitu beharga, sedangkan waktu anda rebahan, tentu tidak ada apa apanya waktu hanya lewat begitu saja. Karena itu, waktu bukanlah bentuk kongkrit jam dinding, tapi ia di kesadaran diri kita.

Begitu juga dengan islam, alquran memuat satu surah tentang waktu yaitu Al ashr (demi waktu). imam ali mengatakan beribadahlah kamu hari ini seakan-akan kamu mati besoknya, tentu akan berbeda dalam penghayatan diri kita antara kesadaran kita terkait tentang kematian dan tidak. Ketika memiliki kesadaran hari esok kita akan mati pastilah perlakuan kita di saat sekarang penuh kesiapan. Karena itu konsep waktu ialah bagaimana pemaknaan kita terhadap waktu, waktu bukan detik jam dan ia bukan pula degup jantung. Kita bisa lihat udah berapa banyak orang yang jantungnya masih berdegup tapi waktu nya sudah tidak ada karena rebahan nya. Apa makna dari rebahan itu? Nothingness........

Dan berapa banyak pula, orang yang sudah tidak lagi berdegup jantungnya, tapi waktunya masih berjalan. Bisa kita lihat almarhum gus dur, orang nya sudah tidak ada, namun bisa menghidupkan orang yang sedang hidup. Dalam sehari orang-orang yang hidup pergi ziarah ke makam gus dur bisa mencapai ratusan orang dan hal itu menghasilkan pemasukan di wilayah komplek pemakaman menjadi sedikit lebih naik. Gus dur memberikan kehidupan walupun degup jantung nya tidak ada. Begitupun para wali songo yang ada, mereka telah tiada, tapi perputaran uangnya di sekitaran makam mereka terus berjalan dan menghidupi UMKM kecil disana. Pertanyaan kita, sebenarnya siapa yang hidup atau mati? Mereka yang tidak lagi berdegup jantungnya, namun masih bisa melakukan transformasi sosial. Oleh karena itu, konsep waktu ia beririsan kuat dengan persepsi (kesadaran jiwa) dalam memaknai realitas.

Begitu juga dengan ungkapan di islam tentang waktu, antara duniawi dan akhirat, 1 hari di akhirat setara dengan 50 ribu tahun di dunia atau ketika nabi mengatakan puasa 1 hari di hari asyura itu setara dengan menghapus 1 tahun dosa kita, ini kan konsep waktu, dan ia bukanlah detik jam, tetapi Ia persoalan kesadaran (persepsi).

Karena itu, kata heidegger, tugas manusia ialah bagaimana ia mengiring waktunya ke arah yang otentik, jadi waktu yang kita punya ia melebihi nilai ketukan detik jam.

Kita pernah mendengar ungkapan atau kata usia dan umur dalam perjalanan waktu. Usia biasanya mengacu pada angka, tapi umur lebih dilihat dari keberkahan/kemakmurannya. Bisa jadi yang udah tua kita katakanlah 60 tahun secara usia, namun secara umur sudah 100 tahun, atau melebihi itu. Bisa jadi juga secara usia yang 16, namun secara umur mungkin hanya 7 tahun. Inilah mengapa perlu kita memberi legasi pada waktu atau hal yang diluar kita. (Pemaknaan). Oleh Karena itu kita biasanya mendoakan seseorang dengan panjang umurnya (keberkahan), bukan usia nya. Yang baca ini, semoga diberkahi umurnya.....

Kalau panjang usianya, namun umurnya tidak, itu namanya merepotkan, contohnya : usianya udah 70-80 tapi kembali seperti anak" lagi. Atau contoh lainnya, usianya sudah tua, blom nikah, dicariin jodohnya, udah ada jodohnya dan nikah repot lagi cari utangan, punya anak sibuk lagi cari pinjaman, Matipun merepotkan lagi, Artinya usia itu ia berbicara kuantitas sedangkan umur ia bicara tentang kualitas/keberkahan.

Spiritualitas waktu perlu dilihat sebagai sebuah kesadaran persepsi yang utuh. Contoh ibu kita : dalam 1 hari ia bisa merangkap banyak pekerjaan, mulai dari pekerjaan rumah, urus anak, urus suami, masak, mencuci, itu ia lakukan pekerjaan nya selesai dalam satu hari. Sedangkan kita, atau perempuan lainnya, mungkin sehari hanya 2 pekerjaan, padahal secara waktu kan sama antara waktu ibu saya dan waktu anda. Nah inilah keberkahan, atau pemaknaan pada waktu tersebut yang berbeda, dan hal ini (keberkahan) yang membedakan tersebut.

Seperti halnya, imam alghazali, atau qurais shihab yang membuat karya yang monumental berjilid-jilid, walupun pada saat itu, imam alghazli laptop belom ada referensi belum begitu banyak, namun karya nya begitu banyak, nah sedangkan saya, sudah ada laptop, referensi sudah banyak beredar dimana-mana, namun satu kitab pun blom ada. Padahal secara waktu antara saya dan imam alghazali tidak berbeda. dan hal inilah (keberkahan waktu) atau bagaimana filosofi waktu atau diri kita menghayati waktu tersebut. Dan semua penghayatan itu ada pada kesadaran jiwa kita (persepsi).

Di islam, kita diajak mengendalikan waktu bukan dikendalikan waktu, contohnya setiap ibadah ritual itu ada waktunya, sholat ada waktunya, puasa ada waktunya, haji ada waktunya. Kenapa waktu itu diatur? Agar kita didik dalam mengendalikan waktu, bukan di atur oleh waktu.

Sekarang, berapa banyak anda mengajak orang untuk meeting, kemudian anda tanya, ada waktu ngga buat kita meeting? Tentunya jawaban kita ngga ada waktu dong, memangnya sejak kapan diri kita dikendalikan oleh waktu. Karena itu, tugas kita bukan ngga ada waktu, tapi buat apa meeting itu, kalau hanya hahahihi itu sama aja bualan. Waktu tentu harus ada skala prioritas, supaya kita bisa melihat gradasi makna yang tinggi dalam waktu, sebagaimana pula persepsi (kesadaran) itu betingkat/gradasi. Jika kita memaknai waktu dalam kesadaran jiwa yang rendah, semisalkan lebih memilih bermain game berlama-lama ketimbang belajar dan beribadah, maka waktu kita hanya berlalu begitu saja terlewati dengan bermain game.

Biasanya pula, ketika berbicara waktu kita sering terjebak pada Ruang dan tempat pada bentuk kongkrit material. Dan hal ini akan membuat jiwa kita semakin sempit pula melihat apa itu waktu, bukan sekedar batasan-batasa ruang dan tempat. Jika Kita punya bahasa tentang ruang dan tempat seharusnya sudah bisa dibedakan, ruang atau space dan tempat atau place tersebut, bagaimana konstruksinya, Mari kita lihat dari perspektif Jurgen Habermas salah satu tokoh mazhab Frankfurt.

Bagi habermas, ruang dan tempat itu harusnya dibedakan, hebermas mengatakan bahwa tempat ialah satu lokasi yang dibatasi oleh bangunan" tertentu (material) Sedangkan ruang ialah kesadaran. Tidak semua tempat bisa menjadi ruangan, tidak semua ruang harus ada tempatnya dan Tidak semua tempat bisa menjadi tumbuhnya ruang kesadaran.

Contohnya ketika kita berdiskusi tentang sesuatu di ruangan, tapi diruangan itu ada orang yang tidak suka dengan apa yang anda diskusikan atau Contoh lainnya, ketika anda diminta sebagai pembicara tentang tokoh tertentu dan tokoh itu ada di tempat tersebut. Maka bisa jadi tempat itu ialah tempat yang baik dengan fasilitas diskusinya. Tapi blum tentu tempat tersebut menjadi ruangan yang baik, apabila tokoh tang hadir tersebut tidak suka di kritisi dan tak menerima kebenaran lainnya. Dan dia hanya suka dengan apa yang ingin ia dengar  bukan apa yang perlu ia dengar. Sehingga hal ini ialah bukan sebuah RUANG diskusi tapi itu hanya TEMPAT diskusi. Karena disetiap anda ngeluarin pernyataan kritis, pasti di anggap sebagai sebuah ancaman.

Ruang juga tidak mesti memiliki tempat, walaupun idealnya harus memiliki tempat, karena itu hebermas mendorong apa yang ia sebut dengan publik spears, atau publik space atau mendorong ruang-ruang publik bisa berbicara bebas dimanapun. Saat ini bisa dilihat bahwa kafe" sudah mulai banyak sebagai tempat orang berbincang bebas terkait pikirannya.

Karena itu tempat yang besar belum tentu bisa jadi ruang yang besar, dan tempat yang kecil bisa jadi ruang yang besar. Contoh tempat yang kecil tapi ruang yang besar adalah masjid nabi Muhammad itu kecil secara place (tempat) namun besar sebagai space (Ruang). Dari masjid ini tumbuh berbagai hal ruang kesadaran yang besar mulai segi ekonomi, militer, kemanusiaan, olahraga dll.

Adapun Contoh di indonesia yaitu tempatnya atau rumahnya Hos cokroaminoto yang dimana indonesia tidak keluar dari situ" aja yaitu islamisme, sosialisme dan komunisme.

Saat sekarang kosan kita mungkin secara placenya/tempatnya luas, tapi bukan ruang-ruang ide segar yang berkembang tapi justru gelap, remang" pada kemaksiatan yang menjadi luas. 😄

Bagi mazhab Frankfurt kita perlu Berhati-hati menilai antara ruang dan tempat. Bisa jadi anda dibangunkan tempat yang luas, tapi justru tidak dibangunkan ruang yang luas pula. Layaknya kita di Indonesia zaman orba, indonesia ini luas, tapi ruang kemanusiaan kita dibatasi dengan sekat-sekat otoritarianism.

Berbicara waktu, Saya teringat Gibran dalam karyanya The Prophet/Sang Nabi. Gibran pun bingung dalam hal apa itu waktu? ada satu bab yg menceritakan seorang Ahli Astronomi bertanya, Guru Bagaimanakah perihal waktu? di jawab oleh Sang Guru yang menjadi Tokoh Sang Nabi (almustopa), Engkau ingin mengukur Sang waktu yang tiada ukur dan tampa ukuran dan bukankah Sang waktu itu sebagaimana Hakekat Cinta Tiada mengenal Batas ukuran serta tak dapat dibagi".

"Tapi bila ada keharusan dalam pikiran untuk membagi Sang Waktu ke dalam ukuran musim semi dan musim dingin, ukuran musim demi musim, maka biarkanlah tiap musim merangkum musim lainnya".

Jadi, jika waktu harus dibagi-bagi, termasuk pula cinta lampauilah jumlahnya buanglah kuantitas nya jadikan satu serta biarkanlah masa kini memeluk masa lampau dengan kenangan"

Waktu seperti halnya Cinta, Begitulah perumpamaan Waktu bagi Khahlil Gibran.

Akhirnya untuk menutupi tulisan yang kecil ini kita bisa melihat bagaimana waktu berjalan dalam kehidupan kita, ada yang menikmati dengan santainya, adapula dengan kesungguhanannya. Waktu ia bukan detik jam, bukan juga detak jantung, tapi waktu ialah degup kesadaran. Mengapa waktu bukan detik jam, sebab detik jam itu berbeda-beda antara waktu masehi berdasarkan samsiah,  hijriah berdasrakan qomariah. Semua punya konsep waktu, tapi sejatinya waktu bukan pada itu semua. Ia ada pada Kesadaran (Jiwa/persepsi). Untuk menutupi tulisan ini mungkin dengan sedikit quotes dari saya.

"Bila kusadari waktu tak dapat dikembalikan, tuk memutarnya ulang lagi, mungkin ku tak memulai merajut kembali kehidupan ini" . Alirumi

Shadaqaulahuladzim....
Bihaqqi Muhammad Saww.

Malang, 21/2/24


Referensi:

Al-mandary Mustamin.(2003). Menuju Kesempurnaan : Pengantar Pemikiran Mulla Shadra, Yogyakarta: Safinah.

Hardiman Budi F. (2003). Heidegger dan Mistik Keseharian, Jakarta: Gramedia.

Habermas Jurgen. (2015). Ruang Publik, Sebuah Kajian Tentang Masyarakat Borjuis, Yogyakarta: Kreasi Wacana


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Perkaderan #2

Proyek Perkaderan #11

Proyek perkaderan #8