KPOP diantara Filsafat?
Fomo & Perbudakan Modern
Penulis : Rumi Ali AhmadPada jumat kemarin lisa dan marry mencari kabar di media sosial terkait perkembangan Member Kpop Blackpink, tak mau ketinggalan informasi yang sedang tren pada dunia kpop membuat mereka berdua juga ingin tahu lebih dalam. berita yang beredar bahwa blackpink sudah tak mau lagi terikat kontrak pada label industri ternama yang selama ini sudah mereka jalani dan mengangkat popularitas mereka pula. Perasaan cemas serta kepo antara lisa dan marry melihat informasi yang beredar terkait role model nya telah memilih untuk berkarir sendiri, seolah-olah pertanyaan dalam benaknya ingin mencari tahu apakah blackpink akan bubar dengan kesibukan para membernya dengan solo karir ataukah blackpink masih bertahan?
Diketahui mereka berdua ini adalah penggemar berat kpop, mulai dari Blackpink, Exo, Bts, bigbang, super junior dll. Kegemaran mereka pada kpop diatas ditandai dengan adanya foto" dari member kpop tersebut di kamar dan wallpaper HP nya bahkan aksesoris yang berbau korean pop juga mereka miliki. ngga mau ketinggalan trend dari role model nya, lisa dan marry akan terus update seputaran trend" yang ada pada idolanya, seperti dari cara berpakaian/style dan masih banyak lainnya mereka usahakan meniru agar tidak dikatakan apa yang disebut dengan "ketertinggalan".
Rasa cemas atau kurang update tentang perkembangan hal hal baru membuat mereka berdua tak mau tertinggal, dan akhirnya mereka akan terus melakukan apa yang sedang viral dalam segi fashion ataupun hal lainnya untuk di ikuti. Keinginan tak mau disebut dengan kurang update ini menjadikan mereka terus-menerus mengusahakan diri mengikuti perkembangan trend. Istilah tak ingin mengalami ketertinggalan apapun yang sedang trend setiap detik, waktu dan hari biasanya sering dikenal dengan FOMO.
Fear Of Missing Out/FOMO adalah suatu perasaan takut tertinggal akan sesuatu. Seperti ketika Anda tidak membuka media sosial beberapa jam saja, mungkin muncul perasaan tidak nyaman karena melewatkan kebiasaan tersebut. Istilah Fomo memang berkembang pada tahun milenium 2004, awalnya istilah ini ialah gejala Kesarjanaan yang tak mau ketinggalan gelar" pendidikan dan peluang karir yang ingin diraih. Namun dalam perjalanan waktu gejala ini berkembang dalam dunia fashion dan trend kekinian seperti sebuah kondisi di mana Anda mengalami perasaan khawatir karena tidak mengetahui atau melewatkan informasi, peristiwa, tren, atau pengalaman yang sedang ada di masyarakat.
FOMO juga mengacu pada perasaan bahwa orang lain di luar lebih bersenang-senang, mendapatkan pengalaman yang lebih baik atau menarik daripada yang kita alami. Disisi lain itu, FOMO juga dikaitkan dengan rasa penyesalan, jika Ada kehilangan kesempatan untuk sebuah interaksi sosial, pengalaman, atau peristiwa menarik yang dialami oleh sebagian atau banyak orang.
Berkembangnya teknologi dan maraknya informasi yang bisa didapatkan, kini Anxiety/rasa cemas, krisis identitas, krisis eksistensial, mengakar pada setiap benak umat manusia yang akan selalu haus untuk diakui kediriaanya dikarenakan buramnya akal dan pendiktean kehidupan atas gejala sosial masyarakat yang berkembang perlu di ikuti agar tidak di cap sebagai keterbelakangan. Kita seakan-akan kehilangan diri karena dikontrol oleh trend yang begitu masif menyebar pada setiap beranda dilayar kaca kita (perbudakan Trend)
Saat ini, sebagian masyarat beramai-ramai menyerbu toko-toko fashion yang mulai dari brandlokal, luar negeri bahkan jahit sendiri. Fast fashion serta industri tekstilpun kian berlomba-lomba meraup keuntungan kondisi kecemasan masyarakat dalam fashion dan berhasil menciptakan pasar ditengah kecemasan masyarakat yang tak mau ketertinggalan style fashion yang menarik sehingga menjadikan kita begitu antusias untuk memodifikasi diri dengan gaya yang nyentrik mulai dari pakaian sampai aksesoris lainnya, atau dari ujung kepala sampai kaki semuanya kita hiasi demi apa, itu juga motif yang tersembunyi, mungkin saja ingin mendapatkan like yang banyak, perhatian masyarakat atau style yang trending lagi rame" nya dipakai.
Dikalangan muda konten" youtube sebagian menampilkan atau menanyakan berapa outpit lo? Outpit atau berpakaian kita dari ujung kepala sampai kaki dipertanyakan. Dan hal ini pula Sebagai salah satu faktor bagaimana outpit atau dunia fashion secara tidak langsung di promosikan, Tentu baik-baik saja, mungkin jualan. Pada akhirnya, sebagian kita terkesima melihat fenomena fashion yang kian berbagai macam jenis modelnya seakan akan menarik diri kita untuk berpakaian apa yang seperti di contohkan oleh mereka. Demi mengikuti trend fashion yang ditampilkan kitapun mulai mencicipi satu persatu model atau cara berpakaian yang tak kalah dengan artis, selebgram ataupun influencer yang menjadi role model individu.
Walaupun pakaian kita sudah banyak dan menumpuk di lemari yang pada dasarnya kita juga tidak butuh beli lagi, tapi demi mengikuti trend fashion yang lagi viral, akhirnya diri kita membeli lagi pakaian yang di inginkan biar terkesan tak ketinggalan. Para konsumen mungkin banyak yang tak tau bagaimana kejamnya industri tekstil yang telah memangkas masa depan kemanusiaan. Bagaikan jalan paradoks manusia diantara kebahagiaan menghiasi luaran diri namun mengorbankan masa depan kehidupan pula. Alhasil keberadaan manusia dibumi ini hanya membuat masalah dengan segala aktivitasnya. mengutip dari kumparan.com industri fashion menyumbang 20% limbah global dan 10% emisi karbon global dan proses pewarnanya menjadi penyumbang kedua terbesar dalam hal polusi air secara global.
Kaum fomo tak menyadari bahwa semakin banyak kebutuhan mereka terhadap trend nya fashion maka semakin banyak pula kebutuhan tekstil di olah demi kebutuhan memenuhi pasar hasrat umat manusia. Kalau dulu, terutama di tradisi di kampung-kampung, baju baru itu dibeli hanya menjelang mau lebaran saja dan itupun tak banyak serta dipakai hanya setahun sekali dan dapat digunakan untuk lebaran tahun depan lagi. Disisi lain, kaum menengah kebawah untuk pakaian seperti baju atau celana yang sudah tak terpakai biasanya di jadikan keset, kain lap dll, Pakaian tersebut tidak dibuang, namun mereka manfaatkan segitu eco friendlynya. Disaat ini, diri kita telah melihat kemegahan dan kemewahan atau flexing sudah dimana-mana, bagi yang finasialnya kuat ia akan memenuhi kecukupan Viralitas fashion yang ada, dan dimana pakaian yang sudah tak viral lagi biasanya di buang ataupun dibiarkan memburuk dengan sendirinya.
Tentu jika kita melihat gejala sosialnya, kita mengikuti tren mungkin karena sebabnya dilingkungan sosial kita yang tinggi akan gengsinya. Seperti halnya kita dalam berpakaian saja biasanya ada yang meledekin dengan ucapan kok kamu pakaiannya gitu" aja ya, modelnya gitu" aja dan cuman itu" aja, udah ketinggalan zaman bro, cobalah sekali" ikutin tren sekarang ini, blom lagi dalam kasus yang relate dalam kehidupan kita yaitu Rokok, tembakau atau rokok, dulu ialah alat kebutuhan untuk para medis atau kebutuhan ritual dari tradisi, namun saat sekarang rokok berubah menjadi gaya hidup bahkan adapula bahwa merokok dengan alasan keren semata, ketika stigma orang keren harus merokok, maka ledekan terhadap biasanya laki-laki yang tidak merokok pun terjadi, masak laki-laki tidak merokok, ngga keren lu, kayak cewek aja.Kira" begitulah ungkapan warga trend yang ada. Alhasil ketika yang tak kuat sabarnya, mendengar kata-kata begitu mulai terbesit hatinya juga untuk mengikuti trend yang lagi viralnya.
Jangankan dalam dunia fashion kita menjadi fomo, dalam dunia game atau permainan yang sedang trend kita bisa pula mengikuti yang lagi banyaknya dimainkan, begitupun dengan ilmu pengetahuan pun kita bisa juga menjadi fomo, seprti halnya, menciptakan Terminologi baru atau istilah baru tapi justru secara subtansi maknanya sama saja dengan konsep sebelumnya. Hanya mengganti istilah atau nama dari sesuatu itu saja tapi secara intinya sama. Fomo dalam berpengetahuan begini tentu baik-baik saja, dan dampak lingkungan alam ngga terlalu tercemar, namun lingkungan pikiran yang menjadi tercemar. Tercemar untuk meniru dan mengganti istilah lainnya agar terkesan Ngetrend (jadi beken).
Fomo tak hanya menyerang orang tua, anak muda, anak kecil, yang punya duit, atau yang tak punya duit. Semua akan masuk jebakan psikologis ini tersebut apabila kontrol atas diri sendiri memudar. Maka, urgensi pengenalan diri menjadi penting agar diri kita mampu mendetoks mana yang baik dan tidaknya untuk kita konsumsi. Perbudakan tren bukan hanya secara langsung, secara terselubungpun kita justru menikmatinya dan celakanya pula, perbudakan ini ialah sesuatu yang tersistem dengan rapi oleh algoritma kapitalistik. Para kapitalis berhasil memainkan nuasa hasrat manusia dengan beragam metode demi kepentingan mereka, salah satunya ialah Trend itu sendiri, mungkin kita sering melihat atau mendengar trend berpakaian 70, 80,90 dicoba lagi untuk ditampilkan ulang di saat sekarang ini, alhasil saya dan anda semua yang termakan isu trend suatu budaya di populerkan kembali, mencoba mencari-cari pakaian vintange ke toko pakaian seperti thrifting/pakaian bekas demi bisa keterima sekelompok orang, lingkungan atau menjadi bagian orang modern tuh kayak begini.
ketika trend menjadi suatu budaya maka di posisi itu pula kapiltalistik promosi besar-besaran bahwa mengikuti trend ialah bagian manusia yang normal dan kapitalistik mampu merubah bahwa kebutuhan pokok manusia menjadi gaya hidup mereka pula. Seperti halnya kalau pakaian itu dulu ialah kebutuhan pokok manusia, untuk menutupi dirinya atau dilihat dari fungsinya, namun saat sekarang ini pakaian dinilai bukan lagi dari fungsinya tapi sudah dilihat dari status, kemewahan dll. padahal, kita mengikuti trend, sedangkan trend sifat nya sementara dan ia sendiri tiada habisnya, ia bagaikan estafet perkembangan pula. Contoh trend jilbabnya nissa sabyan, rame muda mudi mengikuti nya, habis itu senyap dan muncul lagi trend jilbanya inara rusli. Trend sifatnya sementara, tapi ia akan muncul dengan wajah baru.
Ikut-ikutan atau menyerupai seperti orang lain ialah hal yang wajar dalam dunia psikologi, karena ada rasa takut manusia yang tidak mau ditolak dari sekumpulan orang atau lingkungan mereka sehingga membuat mereka mengikuti apa yang ada di perkumpulan tersebut dan hal ini biasanya disebut dengan bandwagon effect. Tentu saja teman-teman yang sedang mengalami serangan fomo ngga perlu khawatir, karena satu sisi mengikuti trend bisa saja positif apabila profesi kalian seorang guru, atau konten kreator alhasil pembelajaran pun perlu mengikuti trend yang ada, menganalisis fenomena kekinian dan kalau dulu belajar hanya pakai tulisan kapur putih, saat sekarang sudah pencet" tombol slide sudah bergeser dan beragam animasi yang bisa diberikan agar audiens senang dalam edukasi anda.
Namun perlu di ingat pula, gejala fomo impact negatifnya juga besar apabila tak disaring dengan akal sehat ketika sesuatu yang terjadi pada setiap fenomena atau perkembangan yang ada, seakan-akan tidak mengikuti trend dan kita mengalami kecemasan serta merasa ketertinggalan, tentu baik-baik saja ketika kita merasa cemas akan diri bagaimana kedepannya, merasa tertinggal dari orang lain dari segi ilmunya, kecukupan ekonominya. Dalam hal Ketertinggalan itu ketika dijadikan optimisme kehidupan mada depan kita tentu akan memotivasi diri untuk menjadi yang lebih baik. Akan tetapi, ketika kecemasan dan ketertinggalan kita terkait sesuatu, namun diri kita juga tidak keluar dari circle tersebut, itu sama saja menyiksa diri secara perlahan. Seperti menggantungkan harapan yang begitu tinggi tapi realitasnya tidak memungkinkan. Kalau mau realistis, kehidupan itu harus siap menerima apa yang terjadi dan apa yang tidak terjadi pula. Meminjam ungkapan imam ali : apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah sesuatu yang terjadi.
Manusia dalam kecemasan nya, tidak bahagia bukan hanya kecukupan material saja yang bisa mengakhirinya. Mungkin salah satu solusi ialah bagaimana manusia kembali pada dirinya, bukan lagi dikontrol atas gejala sosial yang ada. Pengenalan akan diri (ma'rifat an nafs) ialah jalan alternatif bagaimana melihat realitas sebagaimana adanya.
Shadaqaulahul adzim.....
Di Kota Malang 7/1/24
Komentar
Posting Komentar