Sosio Epistemologi NDP
Relevansi Tauhid, jati diri & Pembebasan ManusiaPenulis : Rumi Ali Ahmad
Cak nur sebagai penggagas idelogi di HMI bisa dilihat Pengaruhnya ketika selama masih aktif di HMI, Cak Nur menyusun sebuah dokumen sebagai bagian dari silabus perkaderan HMI, khususnya menyangkut materi keislaman yang saat itu dianggapnya kurang mendapat tempat yang memadai ketimbang materi-materi organisasi dan politik. Materi yang disusun Cak Nur ini dikenal dengan “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, selanjutnya disingkat NDP HMI.” ( baca NDP Azhari Akmal Tarigan 2007,hal. 23).
Secara umum pengaruh pemikiran keislaman Cak Nur terhadap HMI tampak di dalam dokumen NDP yang disusun Cak Nur dalam beberapa bab di antaranya; Dasar-dasar Kepercayaan, Pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan, Ketuhanan Yang Maha Esa dan Masalah Kemanusiaan, Kebebasan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir), Individu dan Masyarakat, Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi, dan Ilmu
Pengetahuan. Salah satu Yang membuat Cak Nur termotivasi untuk menyusun NDP HMI adalah untuk memberi panduan bagi kader HMI agar bisa memahami Islam dengan baik dalam dimensi ruang dan waktu dan menjadi acuan untuk memahami Islam secara lebih komprehensif dan rasional. Sudah pasti ideologi HMI ingin mendialogkan bagaimana cara pandang dunia Barat (western world view) dengan pandangan
dunia Islam (Islamic world view).
Adapun Buku yang dikarang oleh Nurcholis Madjid sendiri supaya bisa membantu teman-teman melihat konstekstualisasi idelogi HMI yaitu; Islam, Kemodernan dan Keindonesian. Dalam bukunya ini Cak Nur mengangkat beberapa hal penting dalam menatap masa depan Indonesia yang lebih baik. Pertama, prospek sosialisme-religius di Indonesia suatu kebutuhan. Kedua, Islam dan masyarakat modern-industrial suatu tantangan. Ketiga, modernisme dan pembaruan pemikiran Islam adalah suatu keharusan. Bagi pembaca cak nur dan kader HMI jika tak pernah membaca buku karangan cak nur ini, mungkin agak sulit memahami bagaimana orientasi NDP itu sendiri, yah minimal dengan adanya gagasan yang ditulis langsung oleh cak nur ini bisa membuka ruang pemahaman kita terkait makna otentik kontekstualisasi NDP HMI. Jika mau utuh membaca cak nur beli karya lengkap nya dan ensklopedia nya.
Adapun buku penunjang lainnya yang bisa teman-teman baca juga ialah yang ditulis Suharsono, HMI: Pemikiran dan Masa Depan. Dalam buku ini juga bisa menambah referensi kita bagaimana si penulis mengangkat beberapa hal krusial seputar HMI sebagai sebuah fenomena gerakan, yang mengimplementasikan suatu transformasi sosial, sebagaimana yang terjadi dan membentuk berbagai peradaban dan budaya, pada umumnya dicirikan oleh tiga hal pokok. Pertama, adanya nilai-nilai dasar yang diyakini, yang secara teologis, filosofis bahkan gnostik, memuat dimensi-dimensi keilahian, kebenaran, keadilan, kebaikan dan juga tujuan-tujuan jangka panjang. Di samping memuat kritik terhadap berbagai aspek kehidupan yang berkembang saat itu. Kedua, adanya sejumlah martyr atau orang-orang “terpilih” secara sadar menerapkan nilai-nilai tersebut serta berani mengambil resiko terhadap kemungkinan terjadinya berbagai benturan dengan praktek-praktek sosial yang sedang berlangsung. Ketiga, terjadinya proses transmisi nilai-nilai tersebut ke dalam spektrum sosial yang lebih luas, khususnya angkatan muda, yang kemudian berkembang sebagai kader-kader ideologis, yang kemudian menjadi semacam emberio suatu tipologi masyarakat baru yang merupakan refleksi sosio-epistemologi nilai-nilai tersebut.
Nilai-nilai Dasar Perjuangan Di tubuh HMI menjadi sebuah ideologi atau pegangan kader-kader HMI untuk berjuang. Tentu setiap orang berjuang ia perlunya meletakan nilai dan dasar dalam perjuangan, kalau tidak ada dasarnya dan tidak ada juga nilainya, lantas buat apa berjuang. Saat sekarang ini mungkin sebagian kader HMI tidak terlalu menghiraukan bagaimana relevansi ideologi HMI pada problem sosial, mungkin juga para kader banyak berpikir secara subtansi, jadi lupa metodelogi dan relevansinya apa. Mungkin juga tak memahami NDP, sebab begitu berat untuk memahaminya.
Memang saat sekarang anak hmi terlalu banyak berpikir subtansi jadi lupa metodelogi dan relevansinya sehingga yang ada ialah subtansi tanpa makna, seperti mengatakan hidup ini indah, tapi secara aksiologi nya tidak ada yang indah dan kacau kacau semua. Ini akibat orang berpikir secara subtansi dan bukan metodelogi sehingga susah menemukan relevansi. Padahal cara berpikir itu selalu ada subtansi, metodelogi dan relevansi. Bagian Yang sulit dari itu ialah menurunkan subtansi pada fakta.
HMI ialah organisasi perkaderan, makanya ia tidak meletakan perjuangan dibasis awal, jadi kalau kita lihat mengapa intelektual ditubuh HMI menurun, salah satu sebabnya ialah meletakan perjuangan dalam basis awal. Padahal hmi organisasi perkaderan, dan perkaderan, yang utama ialah perkaderan nilai (jati diri, karakter dll) Dan sebab yang lainnya mungkin saja ada yang salah dalam pola perkaderan. Jadi perlunya kita untuk mengembalikan tradisi HMI yang sebelumnya dan perlunya menyelesaikan bid'ah" di NDP.
Mengangkat satu tema yang cukup menarik terkait bagaimana relevansi NDP HMI pada kontekstual kehidupan, NDP ditubuh Hmi sebagai ideologi perjuangan tentunya memiliki kontekstualisasi dan ia tidak hanya tekstual semata sebagaimana banyak disampaikan pada forum-forum Training. Kehadiran NDP sebagai ideologi perjuangan ia memiliki Nilai-nilai yang termuat dan dari nilai-nilai itulah apakah masih relevan pada zaman ini, ataukah nilai-nilai tersebut sudah tidak mampu menjawab tuntutan zaman.
Sebagaimana tema yang diangkat dalam tulisan ini terkait bagaimana kontekstualisasi nilai-nilai ndp 1 & 2 pada kehidupan sosial kemasyarakatan. Masih memungkinkankah pembahasan tentang ,kepercayaan akan Tuhan, ajaran, kenabian dan esensi kemanusiaan yang berhadapan dengan sosio kultural saat ini, apalagi zaman ini di klaim dengan postmo-truth dan krisis identitas bahkan eksistensial. Apakah isu pluralisme, inklusivitas masih dibutuhkan? Apakah isu jati diri , tentang kemanusiaan masih relate untuk saat ini?
Perlu dilihat juga, ketika mempertanyakan apa bentuk kongkrit idelogi HMI dikehidupan sosial. Maka sudah perlunya juga kita melihat makna dari implikasi ataupun penerapan/implementasi itu sendiri. Secara sederhana implementasi adalah proses yang
mencakup tiga hal :
Pertama, aktivitas yang digunakan untuk menstransfer ide/gagasan. Contoh : tumbuhnya pemateri baru ditubuh HMI sebagai estafet gagasan dari ideologi tersebut.
Kedua, melaksanakan program atau harapan-harapan yang dituangkan dalam bentuk kurikulum desain (tertulis) agar dilaksanakan sesuai dengan desain tersebut. Contoh : pola perkaderan/lokakarya, matrikulasi, penilaian.
Ketiga, implementasi sebagai ungkapan mekanisme berarti, bahwa implementasi bukan sekedar aktivitas, melainkan kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan hukum tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Contoh : tertib administrasi, pedoman perkaderan, AD dan ART
Ketika kita ingin melihat apa bentuk kongkrit atau material dari ideologi HMI tersebut? Perlu diketahui pula ideologi hanyalah sebuah kumpulan cara pandang yang tersusun ataupun sekumpulan gagasan yang memiliki hukum-hukum perintah dan larangan termuat didalamnya. Artinya, ketika kita ingin memaksakan idelogi harus ada perwujudan material nya, maka kita hanya bisa melihat fenomena-fenomena atas penerapan idelogi tersebut. Contoh sederhana ketika kita ingin mematerialisasikan NDP bab 1 sebagai wujud kongkrit maka yang kita lihat ialah bagaimana perwujudan suatu masyarakat yang inklusiv saja. Sederhananya, manusia bertuhan yang siap menerima perbedaan apapun sebagai bukti sunnatullah.
Ideologi ia hanya menjaga diri si penganut nya supaya tidak keluar dari koridor yang telah ditetapkan. Makanya kenapa cak nur meletakan basis nilai-nilai dalam perjuangan HMI, supaya para kader, saat ia berproses di suatu organisasi ataupun ketika hidup berdampingan dengan masyarakat tidak menjadi nakal dan liar. Disisi lain jika ingin melihat kontekstualisasi NDP, cak nur sangat menekankan bahwa ilmu pengetahuan itu pada bab 7 bisa mengantarkan manusia mengelaborasi lebih luas akalnya sehingga dapat membantu kehidupannya, yah seperti pengembangan teknologi dll. Bukankah ini juga perintah NDP supaya manusia hidup dengan akalnya bisa membantu mengembangkan kehidupan yang lebih maju, (dinamis) bukan tetap (statis) sebagaimana berbedanya diri kita dengan hewan (baca NDP).
Namun perlu digaris bawahi juga, ideologi dalam relasinya dengan pengamalan tidak selalu niscaya. Karena banyak faktor menghambat kesadaran kita untuk sesuai atau selaras antar idea dan pengamalannya. Faktor realitas eksternal ini penuh dinamika dengan gejolak aktualnya daripada idelogi yang kita punya. Seperti halnya kita meyakini islam sebagai sebuah ajaran atau idelogi yang saya yakini benar dan punya aturan cara bertindak baik. Namun dalam prakteknya saya sebagai orang islam gagal menerapkan apa yang dimaukan suatu ajaran. Contohnya : azan udah selesai, tapi masih duduk santai dan akhirnya saya meninggalkan sholat sebagai kewajiban di islam. Artinya Memang banyak sekali faktor yang menghambat diri kita untuk berprilaku selaras dengan apa yang kita miliki sebagai bentuk pegangan hidup.
Sedikit terlebih dahulu kita uraikan bagaimana peradaban yang bersinggungan dengan keyakinan dibangun dari zaman dulu. Jika kita melihat satu fenomena peradaban yang dibangun yunani kuno dari mitos ke logos tentu mengalami pergulatan panjang manusia untuk sampai pada sebuah titik kepastian dan pencarian eksistensial yang real siapa sesungguhnya dibalik semua penciptaan. Ada satu kelangsungan dan tuntutan pada diri manusia untuk mencari hal yang pasti bagi dirinya, hal ini senafas apa yang disebut islam sebagai fitrah manusia, yaitu kecendrungan akan kebenaran, pengetahuan, kebahagiaan, keindahan dll.
Kebutuhan akan kepastian ialah tuntutan realitas sebuah kepercayaan manusia yang masih beririsan dengan keraguan. Sebagaimana ungkapan cartesian yaitu satu-satunya yang tidak aku ragukan ialah diriku yang sedang meragu. Orang bisa saja menolak ataupun meragukan apa yang diluar dirinya, seperti halnya problem ateistik, mereka menolak adanya, keraguan akan eksistensi Tuhan, namun ia sampai kapanpun tak bisa menolak dirinya sebagai subjek yang terlibat dalam keraguan ataupun penolakan pada objek tersebut. Dizaman post truth (pasca kepercayaan/ kebenaran) saat ini manusia mengalami satu penyakit dikotomis antara dirinya dan realitas objektif. Bahwa realitas yang tak bisa bicara, tak bisa dilihat secara empirikal ialah Realitas yang tak bisa dipercayai atau tiada kebenaran padanya. Padahal, di zaman post truth kita bukan lagi mempertanyakan dan meragukan, tapi sudah bertransformasi dalam bentuk pengamalan, namanya juga post truth/pasca kebenaran, setelah kebenaran tentunya pengamalan dan bukan lagi jatuh pada keraguan.
Apalagi memasuki babak baru kehidupan dengan kecanggihan teknologi, AI (artificial intelligence) memungkinkan manusia mengalami krisis jati diri dan alienasi. Tuhan-tuhan palsu akan muncul dalam setiap sendi kehidupan, sosial media menjadi agama kedua, nabinya ialah influencer, pahala berupa like dan gift serta jari jemari kita ialah parlemen akhir keputusan dosa ataukah tidak. Peradaban umat manusia semakin berkembang, namun kebutuhan akan spiritualitas semakin menipis, dari data yang dijelaskan world of statistics japan menduduki peringkat pertama yang tak percaya Tuhan, dan peringkat pertama percaya Tuhan ialah Indonesia, sebab indonesia yang penuh corak keragaman didalamnya menjadikan isu pluralisme sebagai modalitas bangsa yang berketuhanan. Walaupun secara implikasi tauhid kita ialah pelaku korupsi, intoleransi, penindasan, kezaliman. Mungkin kita percaya Tuhan, tapi kepercayaan itu tak memasuki ruang realitas yang objektif (ilmiah).
Pluralisme di indonesia hanyalah angan-angan dalam prakteknya, sudah berapa kasus terjadi di indonesia isu keagamaan, seperti kejadian di sampang 2011 penyerangan terhadap muslim syiah dipersekusi, pengeboman gereja umat kristiani, pengucilan minoritas agama. Apakah representasi kepercayaan yang kita miliki berwajah marah-marah, apa iya Tuhan Sukanya marah-marah? Sebagaimana kerangka cak nur, di bagian tentang kepercayaan ini orientasinya bukan menjadikan umat yang eksklusiv, namun corak masyarakat yang terbuka/inklusiv, berani mendialogkan ruang-ruang agama serta kebudayaannya. Meminjam Ungkapan kuntowijoyo, Kuntowijoyo berpandangan bahwa Islam mengakui adanya diferensiasi dan bahkan polarisasi sosial. Al-Qur’an menggariskan bahwa fenomena ketidaksamaan sosial tersebut sebagai sunnatullah, sebagai hukum alam dan realitas empiris yang ditakdirkan terhadap dunia manusia.
Inklusivitas umat bukanlah bahasa like and dislike, tapi ia adalah sebuah proses yang panjang melalui dinamika intelektual dan budaya yang saling berhadapan dengan agama. Makanya pada nilai-nilai kepercayaan apakah kita sudah pernah melakukan otokritik apa yang kita percayai, kepercayaan bukanlah sebuah turun temurun dari orang-orang terdahulu, tapi ia merupakan sebuah proses atau capaian seseorang. Tak heran jika ada orang marah apabila kita mencoba mengkritisi kepercayaan yang dia miliki sedangkan kepercayaan yang dia miliki bukanlah dari sebuah capaiannya, tetapi ialah sebuah dogma yang sudah ditanamkan pada dirinya. Sederhana, ketika membahas pengetahuan atas keimanan, bahasa emosional sudah mendahului ketimbang bahasa rasionalitas.
Memang inklusivitas, human religion dan Pembebasan manusia ialah sebuah bentuk kesadaran kita terkait masa depan peradaban yang beririsan dengan alam & sejarah. Oleh karena mengapa cak nur menekankan bahwa musuh tauhid, alam dan sejarah manusia ialah kebodohan, karena kebodohan, kita tak bisa memahami hukum alam serta norma sejarah dalam menemukan kebenaran. Orang-orang bodoh merusak peradaban dan syirik paling murni.
Jika kader HMI mengamini NDP sebagai ideologi perjuangan, maka dalam perjuangan itu kita perlu membaca norma sejarah, supaya kesan yang kita ciptakan di saat perjuangan itu akan tersaksikan melalui sejarah tersebut. Orang sering menyebutkannya dengan setelah panjang perjuangannya "biarkanlah sejarah yang mengungkap kebenaran itu". Artinya Ini ialah pesan perlawanan yang telah kita titipkan pada sejarah perjuangan kita.
Di dalam kesadaran sejarah itulah terdapat emosi, pesan dan orientasi yang telah di tunjukan secara terus menerus tanpa henti, baik dulu, kini dan akan datang terkait perusak kemanusiaan. Bahwa, kesadaran sejarah ialah kesadaran dialektika yang terus berlanjut. Dan itu terkait dengan kebudayaan manusia. Perjuangan, pengabdian tanpa modalitas budaya dalam relasi sejarah. Akan terbentuk perlawanan sektoral dan transaksional, sepihak dan mengatasnamakan rakyat padahal bukan rakyat. Disinilah mengapa setiap aktivis di haruskan hadir bersama cultur masyarakat untuk menghidupkan emosi, atau intelektual yang telah lama mati.
Jika memang itu sudah terwujud ( kita anggaplah begitu), namun mengapa begitu lemah kita bergerak? Kenapa perjuangan kita hanya berkaitan temporel, hanya terkait jika ada isu isu besar baru turun ke lapangan, padahal keburukan terjadi dimana mana? Jika itu yang kita alami, ketakutan yang kita rasakan itu. Maka perlu adanya kekuatan yang lebih besar yang menggerakan sejarah budaya ini bergerak. Hal itulah yang disebut kesadaran diri ideologis.
Posisi ideologis atau orang-orang ideolog sebagai kekuatan tindakan yang memberikan kepastian, menjawab harapan dan menjawab ketakutan jiwa manusia, jiwa aktif tak terbendung. Dan ideologis ialah tindakan yang punya tujuan. Dimanakah tujuan manusia? Tujuannya ialah kebenaran ( aktual: liqa allah), dimanakan tujuan sejarah manusia ? Tujuanya ialah pembebasan.
Dengan begitu, ideologis meletakkan perwujudan tindakannya untuk mewujudkan tujuan manusia dan tujuan sejarah manusia. Bahwa, pada ideologi itulah, kebenaran di temui lewat pembebasan manusia dari cengkraman tirani serta belenggu yang mengikat dirinya.
Shadaqaullahul Adzhim
Malang, 13/12/23
Komentar
Posting Komentar