Mau Bebas, Tinggalkan Saja Tuhan?
NDP 3 & 4
Kemerdekaan Manusia (ikhtiar) dan Keharusan Universal (takdir) serta Ketuhanan YME & Prikemanusiaan.Sebuah rangkuman kecil.
Penulis : Rumi Ali Ahmad
Tulisan ini ialah sebuah proses pembelajaran di forum diskusi ideologi HMI, walaupun saya selaku penulis sempat terhambat dengan berbagai aktivitas pekerjaan dan lainnya, sehingga perlu mencari ruang celah untuk menyelesaikan nya. Adapun catatan lainnya memahami kerangka ndp cak nur, maka sepatutnya kita membaca karya-karyanya agar mudah pula memahami apa yang dimaukan cak nur. Semoga bermanfaat dan selamat membaca.
Manusia sebagaimana telah dibahas di bab awal ndp 2 ialah mahkluk yang cenderung akan fitrahnya, dan penjagaan fitrah manusia berdasarkan kekuatan akal yang dia miliki. Dengan Fitrahnya tersebut, manusia ialah sebuah ikhtiari menuju kesempurnaan dirinya. Adanya konsekuensi pada diri manusia menentukan kesempurnaan ataukah tidak pada dirinya itu, hal ini membuka ruang yang luas bagi ikhtiar/ kemerdekaan pada dirinya.
Kemerdekaan ialah Kebebasan kemampuan untuk melakukan apa yang diinginkan, atau hak dan kelebihan yang dimiliki. Kebebasan, juga dapat diartikan memiliki kemampuan untuk bertindak atau berubah tanpa batasan. Sesuatu itu "bebas" jika dapat berubah dengan mudah dan tidak dibatasi dalam keadaan apapun.
Sebagaimana cak nur meletakan fitrah pada manusia ialah hal yang tak terbatas, maka fitrah dalam kecendrungan nya juga wabil khusus pada kebenaran (alhaq) itu sendiri yang tak terbatas, maka suatu kebebasan yang pada diri manusia ialah yang tak terbatas pula.
Apa arti Kemerdekaan/kebebasan pada diri manusia, jika ia harus tunduk (tak bisa memilih) pada konsekuensi dari kebebasan tersebut. Manusia bisa saja bebas memilih apapun, tapi berkenaan atas pilihan yang melahirkan konsekuen dari pilihan bebas nya itu ia bukan lagi bebas. Kebebasan layaknya menjadi boomerang bagi diri manusia apabila pilihan bebas itu juga berdampak pada dirinya.
Secara pikiran (logis) kita bisa mengimajinasikan apapun itu dan hal ini menandai adanya kebebasan kita secara akal. Namun terkait pada realitas eksternal ini manusia tidak menemukan kebebasan sebagaimana kebebasan yang mandiri terlepas dari segala bentuk. Akan tetapi, bukan berarti dengan tiadanya kebebasan yang mandiri tersebut akan menggugurkan kebebasan yang ada pada diri manusia.
Kebebasan yang didalamnya ada hak atas pilihan setiap manusia. Seringkali manusia dalam menentukan pilihan bebasnya dihantui dengan ketakutan, agak aneh jika dilihat dari segi kebebasan pada dirinya, sedangkan tiada yang bisa membatasi. Bahkan lebih anehnya lagi, sebagian orang beragama ketika menjatuhkan keyakinannya pada agama, ketokohan tertentu mereka melepaskan kebebasan kemudian taqlid pada pilihan nya itu.
Walaupun kebebasan ialah hak orisinal manusia, otomatis secara penuh manusia menjadi pemegang atas kebebasan nya itu. Dan Tuhan saja sudah mempersilahkan kepada kita, mau jadi kafir ataukah tidak itu dipersilahkan, mau sholat atau tidak silahkan, menjadi orang baik atau tidak silahkan, mau surga atau neraka dipersilahkan. Sebagaimana ungkapan Tuhan : dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barang siapa ingin kafir biarlah ia kafir (Q.s al kahfi 29). Artinya Allah saja dengan kekuasaan Mutlaknya memberikan kebebasan, tapi kebebasan secara total ternyata memunculkan kembali pada diri manusia, yaitu seperti berupa balasan-balasan atas tindakan bebas tersebut.
Ternyata ketakutan-ketakutan itu muncul pada manusia karena ada gesekan dengan agama, sosial kultur lingkungannya yang sebagian orang belum siap atau sepenuhnya menerima perbedaan. Jika keadaanya begitu, berarti kebebasan manusia dibatasi oleh aspek eksternal kehidupannya, padahal secara fitrahnya manusia tidak mau dan menolak adanya tekanan lingkungan seperti itu bahkan juga tekanan psikisnya. Contohnya : kanda" yang menyuruh dindanya ini itu, dan perbuatan yang dilakukan dindanya namun ada intervensi kanda, ini bukanlah perbuatan merdeka.
Sebagaimana john paul satre seorang pemikir eksistensialisme mengungkapkan, kalau manusia mau bebas maka tinggalkan agama, Tuhan, tinggalkan segala norma yang ada, Manusia adalah neraka bagi yang lainnya. Tapi disisi yang lain, bila pilihan bebas itu juga membawa beban, mengapa kita harus terlibat atau terkena efeknya. Karena tidak ada yang dapat dilakukan manusia kecuali memilih, memang subtansi nya begitu, dan tekanan kehidupan pula mengharuskan kita memilih, bahkan sekalipun kita menolak atau tidak mau memilih, bukankah itu juga pilihan. Oleh karena itu, mau tidak mau, senang atau tidak senang, manusia akan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan nya.
Adanya kebebasan pada manusia membuat ia dikatakan sebagai mahluk yang bisa menentukan pilihan nya tanpa intervensi dari orang lain. Tidak ada yang bisa membatasi diri manusia, bahkan Tuhan sendiripun tidak bisa. Yang hanya bisa membatasi manusia ialah keharusan universal itu sendiri (takdir). Takdir bukanlah sesuatu yang belum terjadi, namun ia pasca ikhtiarnya manusia. Dikatakan takdir, apabila sesuatu itu telah terjadi, sebagaimana ungkapan cak nur : manusia tidak bisa berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan, maka percaya pada takdir akan membawa keseimbangan jiwa.
Bahkan takdir sebagai konsekuensi perbuatan manusia ia pula menjadikan kebebasan pada diri manusia memiliki nilai. Sejauh mana ikhtiar manusia, nilai nya akan kelihatan pada takdir. Sederhananya takdir mengungkapkan kualitas atau kadar diri seseorang. Namun seringkali kita mendengar bahwa takdir ialah ketetapan yang telah Allah berikan pada makhluknya, seperti pada catatan lauhul mahfudz : jodoh, maut, kematian, rezeki. Ini adalah takdir manusia yang Tuhan ketahui, tapi takdir berkaitan dengan diri manusia apakah ia ketahui? Kita bisa melihat takdir karena kita telah melihat bahwa ada fakta orang menikah, mati, mendapatkan rezeki. Maka, sesuatu yang sudah terjadi ialah sebagai ungkapan takdir yang bisa kita ketahui, namun yang paling indah ialah mengetahui takdir kita sebelum takdir itu menjadi kenyataan. Sebab, takdir bisa kita hindari sebagaimana adanya ikhtiar manusia untuk menggapai bahasa fitrahnya dialam. Sehingga ikhtiar manusia menjadi penting dalam menentukan takdir dirinya. Meminjam perkataan imam Ali :saya menghindari dari takdir satu ke takdir yang lain.
Penerimaan takdir sebelum adanya ikhtiar itu namanya perbudakan/penyerah diri yang pasif. Manusia diberikan ikhtiar atau kebebasan bertindak pada dirinya ialah agar dia dapat menentukan masa depan dirinya, bukan dengan adanya Takdir Tuhan membuat dirinya bersikap pasrah tanpa adanya usaha untuk menuju yang lebih baik. Contoh halnya rezeki (material) sebagai takdir, dan adanya keinginan kita pengen kaya, karena Tuhankan maha kaya, namun kerjaan kita hanya duduk diam saja dirumah sambil sebat rokok plus kopi tiap harinya dan keluar perkataan dari dirinya, kapan Tuhan menjadikan aku kaya. Inikan hamba yang tidak tahu diri. Hal ini ibaratkan menyuruh ikan panjat pohon.
Ataupun kita bisa lihat Contoh lainnya terkait Jodoh sebagai kiriman Tuhan Karena sudah dianggap sebagai takdir yang ditulis Tuhan. semisalkan, Bila jodoh dipahami sebagai kiriman Tuhan, tanpa ikhtiar manusia, saat hubungan berakhir atau putus, yang sebelumnya dipahami sebagai kiriman, maka Tuhan akan dipersalahkan karena salah kirim Jodohnya.
Pemahaman fatalistik tentang jodoh sebagai kiriman dari langit secara tak sadar menafikan kausalitas yang merupakan hukum tetap Tuhan pula.
Jodoh harus dimaknai ulang sebagai pasangan bersyarat yang dipilih dengan ikhtiar manusia, bukan kiriman semata, supaya tidak memposisikan Tuhan sebagai “makcomblang”.
Karena takdir ia beririsan dengan kausalitas (sebab akibat) maka relasi gerak manusia akan berdampak pada hasilnya. Setiap ikhtiar (sebab) maka ada hasilnya (akibat). Oleh karena itu,Tuhan telah mencukupi syarat" manusia untuk meraih kesempurnaan nya. Sehingga sejauh mana pembacaan relasi kausalitas nya saja sebagai menentukan diri manusia dalam perwujudan kemungkinannya seperti apa (kadar diri). Maka di posisi inilah antara ikhtiar manusia, takdirnya dan kehendak ilahi terjadi. Sederhananya takdir ialah kompromi antara kemauan Tuhan dan manusia (ikhtiar) terkait relasi kausalitas dalam kemungkinan eksistensial nya (kemenjadian).
Tak lepas dari itu juga, manusia dalam ikhtiarnya ialah bagaimana usaha dirinya mengaktualkan kerja kemanusiaan atau amal sholeh untuk menerapkan nilai-nilai ketauhidan dalam kerja duniawi nya. Senada yang dijelaskan cak nur bahwa tidak ada ikhtiar manusia tanpa menjadikan kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukan diri (alhaq).
Bagi cak nur, sejak awal dia telah menjelaskan bahwa tujuan manusia itu ialah berorientasi pada al-haq (kebenaran). Dengan pembahasan di bab 4 nya, cak nur ingin melihat lebih dalam sisi tauhid terutama terkait Ketuhanan Yang Maha esa dan prikemanusiaan, Maka ketuhanan yang maha esa ialah suatu rumusan kemanusiaan, serta rumusan pikiran kita terkait maha yang benar terkait realitas yang dilihat. Dalam bahasa ontologi/eksistensi, dalam setiap keberadaan nan beragam pasti ada ketunggalan didalamnya, artinya ada yang satu/esa pada realitas keberagaman. Tuhan yang Maha esa ialah capaian manusia terkait yang Maha Benar dalam pembuatan nya.
Iman/percaya yang dimaksud cak nur ialah bagaimana kesadaran kita terkait pada yang Mutlak/kebenaran dan pikiran kita juga terkait pada Tuhan Yang Maha esa. pada posisi ini Ruang keimanan terkukuhkan, sehingga antara Tuhan yang maha esa dan alhaq itu ada ruang keimanan, keimanan terhadap alhaq ini dirumuskan pada tindakan yang ikhlas. Maka yang dikatakan bahwa orang-orang yang berprikemanusiaan, ialah orang-orang yang sampai pada sebuah pencapaian ketuhanan yang maha esa, disisi lain hatinya menyadari dan mencintai kebenaran alhaq pada realitas perbuatan nya.
Jadi, semua nilai fitrah (baca bab 2) itu dikatakan bernilai ketika ada perbuatan, dan tujuan perbuatan itu berkaitan dengan ridho ilahi, maka dasar orang melakukan perbuatan itu ia harus sampai pada level prikemanusiaan dan dimana hatinya terbuka akan kebenaran, cinta akan kebenaran dan hal itu ia lakukan hanya mencari ridho ilahi semata, jadi rhido ilahi ialah sebuah hal yang ada ikhtiarnya manusia berkesadaran terhadap tauhid, dan hal ini terumuskan pada kerja amal perbuatan nya (moneteisme praktis). Amal perbuatan yang orientasi pada ilahi ialah memang perbuatan yang ikhlas. Dimana sebuah tindakan manusia tidak lain dan tidak bukan hanya semata-mata buat Allah swt.
Tindakan yang ikhlas hanya bisa dilakukan apabila dalam diri individu ada cinta pada kebenaran (alhaq) maka ruang individu ketika memasuki ruang-ruang alam, sosial dan sejarah ia perlu memiliki kesadaran akan kecintaan pada kemanusiaan. Meminjam ungkapan syariati, arti ketuhanan atau qurbatan illaullah itu ialah arti kemanusiaan, sehingga amal perbuatan yang ikhlas itu dirumuskan pada ruang sosial, sejarah sebagai mencari ridho ilahi diruang-ruang tersebut.
Dalam tindakan, dimana predikat manusia bisa sampai pada prikemanusiaan dan Prikemanusiaan itu individu yang tidak dikotomis lagi antara pola laku dan pola pikir pada dirinya. Tindakan prikemanusiaan ialah tindakan yang adil dan bahasa keadilan bukan bahasa emosionalitas (like and dislike). Keadilan itu kita lihat dalam ruang alam dan sosial sejarah hidup manusia, seperti sebagaimana kita melihat manusia dan alam Sebagaimana adanya.
Saat ini bisa dilihat, kita mencari ridho ilahi dalam perbuatan atau tindakan ataupun disebut dengan kerja amal sholeh seringkali mengkultuskan ketokohan, ataupun berharap perantara karohmah dari tokoh yang dianggap suci. namun perbuatan ini bagi cak nur harus dilepaskan, karena keluar dari asas Tuhan Yang maha Esa dan supaya tidak terkesan sebagai Syirik sosial. pencarian Ridho ilahi hanya berharap kepada dirinya saja, bukan selain dirinya (Allah swt).
Perbuatan/kerja amal sholeh manusia dalam relasi sosialnya ia perlu menampakkan wajah ilahi pada ruang-ruang tersebut, dengan adanya qurbatan illaulah pada diri individu yang bertranformasi ke alam, maka selanjutnya ia berpasrah dengan hasil atas perjuangan nya ataupun tawaqal. Ruang tawaqal ialah sebagai jalan membuka ridho ilahi dan pertolongan dari nya. Bagi cak nur tawaqal ialah kepasrahan diri secara total pada alhaq sebagai konsekuensi iman yang telah terbangun oleh kesadaran hati. Hati yang menatap WajahNya akan melahirkan Penerimaan takdir atas ikhtiar totalitas manusia (tawakal).
Tawakal juga merupakan bentuk kesadaran tertinggi kepasrahan manusia terhadap kehendak ilahi. Menyerahkan diri dalam arti kehendak ilahi pada yang dipilih agar di ridhoi. Sebab, apa yang kita pilih belum tentu baik pula menurut Tuhan, maka pada posisi ini jiwa yang berkaitan pada spiritualitas ilahi ia akan siap menerima apapun yang diberikan Tuhan, dalam bahasa agamanya disebut dengan selalu Bersyukur. Sebagaimana firman Tuhan : fa iza azamta fa tawakkal Alallah : apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal lah kepada Allah swt. (Q.s ali imran ayat 159).
Hemat penulis untuk mengakhiri tulisan yang singkat ini bisa dilihat garis-garis spiritualitas yang dimaksud cak nur dalam merumuskan manusia, alam, sajarah dan Tuhannya bukanlah hal yang bertentangan dan tidak bisa di capai manusia. Antara kehidupan duniawi dan akhirat bukanlah dua hal yang terpisah, dunia yang dianggap cak nur sebagai ladang manusia untuk bercocok tanam amal sholehnya. Sebab, perbuatan manusia kelak akan dipertanyakan mau dari individu dan komunal (dosa/pahala) bisa dilihat sebagai keadilan ilahi nantinya.
Sehingga, manusia dengan ikhtiar nya, ia perlu memiliki kesadaran ilahi, bukan hanya berpusat antroposentris saja, karena kita meyakini adanya kehidupan setelah kematian sebagai bentuk kehidupan baru (innalillahi wa innaillahi rojiun), maka setiap perbuatan manusia akan dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, manusia haruslah melihat kadar dirinya dalam setiap ikhtiar nya sebagai penjagaan fitrahnya yang teraktual akan tetap digaris kemanusiaan nya. Dan hal ini akan membuka diri ilahi pada setiap keberadaan ikhtiar manusia.
Shadaqaulahuladzim.....
diMalang yang dingin, 25/12/23
Manusia sebagaimana telah dibahas di bab awal ndp 2 ialah mahkluk yang cenderung akan fitrahnya, dan penjagaan fitrah manusia berdasarkan kekuatan akal yang dia miliki. Dengan Fitrahnya tersebut, manusia ialah sebuah ikhtiari menuju kesempurnaan dirinya. Adanya konsekuensi pada diri manusia menentukan kesempurnaan ataukah tidak pada dirinya itu, hal ini membuka ruang yang luas bagi ikhtiar/ kemerdekaan pada dirinya.
Kemerdekaan ialah Kebebasan kemampuan untuk melakukan apa yang diinginkan, atau hak dan kelebihan yang dimiliki. Kebebasan, juga dapat diartikan memiliki kemampuan untuk bertindak atau berubah tanpa batasan. Sesuatu itu "bebas" jika dapat berubah dengan mudah dan tidak dibatasi dalam keadaan apapun.
Sebagaimana cak nur meletakan fitrah pada manusia ialah hal yang tak terbatas, maka fitrah dalam kecendrungan nya juga wabil khusus pada kebenaran (alhaq) itu sendiri yang tak terbatas, maka suatu kebebasan yang pada diri manusia ialah yang tak terbatas pula.
Apa arti Kemerdekaan/kebebasan pada diri manusia, jika ia harus tunduk (tak bisa memilih) pada konsekuensi dari kebebasan tersebut. Manusia bisa saja bebas memilih apapun, tapi berkenaan atas pilihan yang melahirkan konsekuen dari pilihan bebas nya itu ia bukan lagi bebas. Kebebasan layaknya menjadi boomerang bagi diri manusia apabila pilihan bebas itu juga berdampak pada dirinya.
Secara pikiran (logis) kita bisa mengimajinasikan apapun itu dan hal ini menandai adanya kebebasan kita secara akal. Namun terkait pada realitas eksternal ini manusia tidak menemukan kebebasan sebagaimana kebebasan yang mandiri terlepas dari segala bentuk. Akan tetapi, bukan berarti dengan tiadanya kebebasan yang mandiri tersebut akan menggugurkan kebebasan yang ada pada diri manusia.
Kebebasan yang didalamnya ada hak atas pilihan setiap manusia. Seringkali manusia dalam menentukan pilihan bebasnya dihantui dengan ketakutan, agak aneh jika dilihat dari segi kebebasan pada dirinya, sedangkan tiada yang bisa membatasi. Bahkan lebih anehnya lagi, sebagian orang beragama ketika menjatuhkan keyakinannya pada agama, ketokohan tertentu mereka melepaskan kebebasan kemudian taqlid pada pilihan nya itu.
Walaupun kebebasan ialah hak orisinal manusia, otomatis secara penuh manusia menjadi pemegang atas kebebasan nya itu. Dan Tuhan saja sudah mempersilahkan kepada kita, mau jadi kafir ataukah tidak itu dipersilahkan, mau sholat atau tidak silahkan, menjadi orang baik atau tidak silahkan, mau surga atau neraka dipersilahkan. Sebagaimana ungkapan Tuhan : dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barang siapa ingin kafir biarlah ia kafir (Q.s al kahfi 29). Artinya Allah saja dengan kekuasaan Mutlaknya memberikan kebebasan, tapi kebebasan secara total ternyata memunculkan kembali pada diri manusia, yaitu seperti berupa balasan-balasan atas tindakan bebas tersebut.
Ternyata ketakutan-ketakutan itu muncul pada manusia karena ada gesekan dengan agama, sosial kultur lingkungannya yang sebagian orang belum siap atau sepenuhnya menerima perbedaan. Jika keadaanya begitu, berarti kebebasan manusia dibatasi oleh aspek eksternal kehidupannya, padahal secara fitrahnya manusia tidak mau dan menolak adanya tekanan lingkungan seperti itu bahkan juga tekanan psikisnya. Contohnya : kanda" yang menyuruh dindanya ini itu, dan perbuatan yang dilakukan dindanya namun ada intervensi kanda, ini bukanlah perbuatan merdeka.
Sebagaimana john paul satre seorang pemikir eksistensialisme mengungkapkan, kalau manusia mau bebas maka tinggalkan agama, Tuhan, tinggalkan segala norma yang ada, Manusia adalah neraka bagi yang lainnya. Tapi disisi yang lain, bila pilihan bebas itu juga membawa beban, mengapa kita harus terlibat atau terkena efeknya. Karena tidak ada yang dapat dilakukan manusia kecuali memilih, memang subtansi nya begitu, dan tekanan kehidupan pula mengharuskan kita memilih, bahkan sekalipun kita menolak atau tidak mau memilih, bukankah itu juga pilihan. Oleh karena itu, mau tidak mau, senang atau tidak senang, manusia akan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan nya.
Adanya kebebasan pada manusia membuat ia dikatakan sebagai mahluk yang bisa menentukan pilihan nya tanpa intervensi dari orang lain. Tidak ada yang bisa membatasi diri manusia, bahkan Tuhan sendiripun tidak bisa. Yang hanya bisa membatasi manusia ialah keharusan universal itu sendiri (takdir). Takdir bukanlah sesuatu yang belum terjadi, namun ia pasca ikhtiarnya manusia. Dikatakan takdir, apabila sesuatu itu telah terjadi, sebagaimana ungkapan cak nur : manusia tidak bisa berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan, maka percaya pada takdir akan membawa keseimbangan jiwa.
Bahkan takdir sebagai konsekuensi perbuatan manusia ia pula menjadikan kebebasan pada diri manusia memiliki nilai. Sejauh mana ikhtiar manusia, nilai nya akan kelihatan pada takdir. Sederhananya takdir mengungkapkan kualitas atau kadar diri seseorang. Namun seringkali kita mendengar bahwa takdir ialah ketetapan yang telah Allah berikan pada makhluknya, seperti pada catatan lauhul mahfudz : jodoh, maut, kematian, rezeki. Ini adalah takdir manusia yang Tuhan ketahui, tapi takdir berkaitan dengan diri manusia apakah ia ketahui? Kita bisa melihat takdir karena kita telah melihat bahwa ada fakta orang menikah, mati, mendapatkan rezeki. Maka, sesuatu yang sudah terjadi ialah sebagai ungkapan takdir yang bisa kita ketahui, namun yang paling indah ialah mengetahui takdir kita sebelum takdir itu menjadi kenyataan. Sebab, takdir bisa kita hindari sebagaimana adanya ikhtiar manusia untuk menggapai bahasa fitrahnya dialam. Sehingga ikhtiar manusia menjadi penting dalam menentukan takdir dirinya. Meminjam perkataan imam Ali :saya menghindari dari takdir satu ke takdir yang lain.
Penerimaan takdir sebelum adanya ikhtiar itu namanya perbudakan/penyerah diri yang pasif. Manusia diberikan ikhtiar atau kebebasan bertindak pada dirinya ialah agar dia dapat menentukan masa depan dirinya, bukan dengan adanya Takdir Tuhan membuat dirinya bersikap pasrah tanpa adanya usaha untuk menuju yang lebih baik. Contoh halnya rezeki (material) sebagai takdir, dan adanya keinginan kita pengen kaya, karena Tuhankan maha kaya, namun kerjaan kita hanya duduk diam saja dirumah sambil sebat rokok plus kopi tiap harinya dan keluar perkataan dari dirinya, kapan Tuhan menjadikan aku kaya. Inikan hamba yang tidak tahu diri. Hal ini ibaratkan menyuruh ikan panjat pohon.
Ataupun kita bisa lihat Contoh lainnya terkait Jodoh sebagai kiriman Tuhan Karena sudah dianggap sebagai takdir yang ditulis Tuhan. semisalkan, Bila jodoh dipahami sebagai kiriman Tuhan, tanpa ikhtiar manusia, saat hubungan berakhir atau putus, yang sebelumnya dipahami sebagai kiriman, maka Tuhan akan dipersalahkan karena salah kirim Jodohnya.
Pemahaman fatalistik tentang jodoh sebagai kiriman dari langit secara tak sadar menafikan kausalitas yang merupakan hukum tetap Tuhan pula.
Jodoh harus dimaknai ulang sebagai pasangan bersyarat yang dipilih dengan ikhtiar manusia, bukan kiriman semata, supaya tidak memposisikan Tuhan sebagai “makcomblang”.
Karena takdir ia beririsan dengan kausalitas (sebab akibat) maka relasi gerak manusia akan berdampak pada hasilnya. Setiap ikhtiar (sebab) maka ada hasilnya (akibat). Oleh karena itu,Tuhan telah mencukupi syarat" manusia untuk meraih kesempurnaan nya. Sehingga sejauh mana pembacaan relasi kausalitas nya saja sebagai menentukan diri manusia dalam perwujudan kemungkinannya seperti apa (kadar diri). Maka di posisi inilah antara ikhtiar manusia, takdirnya dan kehendak ilahi terjadi. Sederhananya takdir ialah kompromi antara kemauan Tuhan dan manusia (ikhtiar) terkait relasi kausalitas dalam kemungkinan eksistensial nya (kemenjadian).
Tak lepas dari itu juga, manusia dalam ikhtiarnya ialah bagaimana usaha dirinya mengaktualkan kerja kemanusiaan atau amal sholeh untuk menerapkan nilai-nilai ketauhidan dalam kerja duniawi nya. Senada yang dijelaskan cak nur bahwa tidak ada ikhtiar manusia tanpa menjadikan kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukan diri (alhaq).
Bagi cak nur, sejak awal dia telah menjelaskan bahwa tujuan manusia itu ialah berorientasi pada al-haq (kebenaran). Dengan pembahasan di bab 4 nya, cak nur ingin melihat lebih dalam sisi tauhid terutama terkait Ketuhanan Yang Maha esa dan prikemanusiaan, Maka ketuhanan yang maha esa ialah suatu rumusan kemanusiaan, serta rumusan pikiran kita terkait maha yang benar terkait realitas yang dilihat. Dalam bahasa ontologi/eksistensi, dalam setiap keberadaan nan beragam pasti ada ketunggalan didalamnya, artinya ada yang satu/esa pada realitas keberagaman. Tuhan yang Maha esa ialah capaian manusia terkait yang Maha Benar dalam pembuatan nya.
Iman/percaya yang dimaksud cak nur ialah bagaimana kesadaran kita terkait pada yang Mutlak/kebenaran dan pikiran kita juga terkait pada Tuhan Yang Maha esa. pada posisi ini Ruang keimanan terkukuhkan, sehingga antara Tuhan yang maha esa dan alhaq itu ada ruang keimanan, keimanan terhadap alhaq ini dirumuskan pada tindakan yang ikhlas. Maka yang dikatakan bahwa orang-orang yang berprikemanusiaan, ialah orang-orang yang sampai pada sebuah pencapaian ketuhanan yang maha esa, disisi lain hatinya menyadari dan mencintai kebenaran alhaq pada realitas perbuatan nya.
Jadi, semua nilai fitrah (baca bab 2) itu dikatakan bernilai ketika ada perbuatan, dan tujuan perbuatan itu berkaitan dengan ridho ilahi, maka dasar orang melakukan perbuatan itu ia harus sampai pada level prikemanusiaan dan dimana hatinya terbuka akan kebenaran, cinta akan kebenaran dan hal itu ia lakukan hanya mencari ridho ilahi semata, jadi rhido ilahi ialah sebuah hal yang ada ikhtiarnya manusia berkesadaran terhadap tauhid, dan hal ini terumuskan pada kerja amal perbuatan nya (moneteisme praktis). Amal perbuatan yang orientasi pada ilahi ialah memang perbuatan yang ikhlas. Dimana sebuah tindakan manusia tidak lain dan tidak bukan hanya semata-mata buat Allah swt.
Tindakan yang ikhlas hanya bisa dilakukan apabila dalam diri individu ada cinta pada kebenaran (alhaq) maka ruang individu ketika memasuki ruang-ruang alam, sosial dan sejarah ia perlu memiliki kesadaran akan kecintaan pada kemanusiaan. Meminjam ungkapan syariati, arti ketuhanan atau qurbatan illaullah itu ialah arti kemanusiaan, sehingga amal perbuatan yang ikhlas itu dirumuskan pada ruang sosial, sejarah sebagai mencari ridho ilahi diruang-ruang tersebut.
Dalam tindakan, dimana predikat manusia bisa sampai pada prikemanusiaan dan Prikemanusiaan itu individu yang tidak dikotomis lagi antara pola laku dan pola pikir pada dirinya. Tindakan prikemanusiaan ialah tindakan yang adil dan bahasa keadilan bukan bahasa emosionalitas (like and dislike). Keadilan itu kita lihat dalam ruang alam dan sosial sejarah hidup manusia, seperti sebagaimana kita melihat manusia dan alam Sebagaimana adanya.
Saat ini bisa dilihat, kita mencari ridho ilahi dalam perbuatan atau tindakan ataupun disebut dengan kerja amal sholeh seringkali mengkultuskan ketokohan, ataupun berharap perantara karohmah dari tokoh yang dianggap suci. namun perbuatan ini bagi cak nur harus dilepaskan, karena keluar dari asas Tuhan Yang maha Esa dan supaya tidak terkesan sebagai Syirik sosial. pencarian Ridho ilahi hanya berharap kepada dirinya saja, bukan selain dirinya (Allah swt).
Perbuatan/kerja amal sholeh manusia dalam relasi sosialnya ia perlu menampakkan wajah ilahi pada ruang-ruang tersebut, dengan adanya qurbatan illaulah pada diri individu yang bertranformasi ke alam, maka selanjutnya ia berpasrah dengan hasil atas perjuangan nya ataupun tawaqal. Ruang tawaqal ialah sebagai jalan membuka ridho ilahi dan pertolongan dari nya. Bagi cak nur tawaqal ialah kepasrahan diri secara total pada alhaq sebagai konsekuensi iman yang telah terbangun oleh kesadaran hati. Hati yang menatap WajahNya akan melahirkan Penerimaan takdir atas ikhtiar totalitas manusia (tawakal).
Tawakal juga merupakan bentuk kesadaran tertinggi kepasrahan manusia terhadap kehendak ilahi. Menyerahkan diri dalam arti kehendak ilahi pada yang dipilih agar di ridhoi. Sebab, apa yang kita pilih belum tentu baik pula menurut Tuhan, maka pada posisi ini jiwa yang berkaitan pada spiritualitas ilahi ia akan siap menerima apapun yang diberikan Tuhan, dalam bahasa agamanya disebut dengan selalu Bersyukur. Sebagaimana firman Tuhan : fa iza azamta fa tawakkal Alallah : apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal lah kepada Allah swt. (Q.s ali imran ayat 159).
Hemat penulis untuk mengakhiri tulisan yang singkat ini bisa dilihat garis-garis spiritualitas yang dimaksud cak nur dalam merumuskan manusia, alam, sajarah dan Tuhannya bukanlah hal yang bertentangan dan tidak bisa di capai manusia. Antara kehidupan duniawi dan akhirat bukanlah dua hal yang terpisah, dunia yang dianggap cak nur sebagai ladang manusia untuk bercocok tanam amal sholehnya. Sebab, perbuatan manusia kelak akan dipertanyakan mau dari individu dan komunal (dosa/pahala) bisa dilihat sebagai keadilan ilahi nantinya.
Sehingga, manusia dengan ikhtiar nya, ia perlu memiliki kesadaran ilahi, bukan hanya berpusat antroposentris saja, karena kita meyakini adanya kehidupan setelah kematian sebagai bentuk kehidupan baru (innalillahi wa innaillahi rojiun), maka setiap perbuatan manusia akan dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, manusia haruslah melihat kadar dirinya dalam setiap ikhtiar nya sebagai penjagaan fitrahnya yang teraktual akan tetap digaris kemanusiaan nya. Dan hal ini akan membuka diri ilahi pada setiap keberadaan ikhtiar manusia.
Shadaqaulahuladzim.....
diMalang yang dingin, 25/12/23
Komentar
Posting Komentar