Manusia, kepercyaan & Kebenaran
NDP 1 & 2
Dasar-dasar Kepercayaan & Pengertian-pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan.Sebuah rangkuman kecil.
Penulis : Rumi Ali Ahmad
![]() |
Mungkin tulisan kecil ini bukanlah hal yang sempurna dalam menjelaskan idologi hmi, refleksi dari tulisan ini ialah memudahkan diskusi kecil bersama warga hmi teknik UMM. Agar pemahaman tidak masuk dari telinga kanan keluar telinga kiri, lebih baik di tulis sebagai sebuah ingatan yang abadi. Ungkapan pram : menulis ialah sebuah jalan unuk hidup abadi. selamat membaca..........
Pembahasan kita kali ini terkait dengan manusia dan bangunan kepercayaan nya, membahas kepercayaan tentu kita perlu mendudukan bagaimana Manusia bisa memiliki kepercayaan, apakah kepercayaan itu lahir begitu saja, ataukah ia sebuah proses yang panjang ditemukan manusia.
Manusia merupakan hewan yang berpikir, dan hal itu pula yang menjadi pembeda ia dengan hewan lainnya, yaitu hanyalah pikirannya (akal). Berbicara manusia ia tidak hanya sebatas pikiran saja, ia adalah segala metafora yang luas pada dirinya (fitrah). ketika kita berbicara manusia di bagian biologisnya (al-basyar), secara penciptaan pula berbagai perspektif melihatnya, semisalkan dalam agama islam manusia diciptakan dari unsur tanah yang berbagai macam menempel di badan nya, pasca telah terbentuk menjadi tubuh yang utuh, kemudian Tuhan meniupkan ruh pada tubuh tersebut sehingga hidup lah dia yang kita kenal di islam sebagai Adam. Adam merupakan manusia pertama yang dibentuk langsung oleh kreasi tangan Tuhan Dan kita ialah hanya keturunan nya (bani adam). Syariati menyebutkan bahwa Adam ialah falsafah penciptaan manusia, sedangkan fitrah ialah basis filosofisnya.
Begitupula ketika kita membahas manusia dari sisi psikologisnya (al-insan) ataupun relasi sosialnya (an-nass). Manusia dari sisi keduanya itu tak bisa kita pisahkan, manusia secara psikologis ia berbagai macam bentuk kecendrungan jiwanya, kecendrungan itu termasuk wilayah fitrahnya dia, sebagaimana fitrah ialah hal yang suci, maka ia pastinya cenderung akan kebenaran, kebaikan, kebahagian, oleh karena itu diantara kecendrungan jiwanya tersebut seharusnya manusia dalam relasi sosialnya ia berbasis pada kesadaran fitrahnya.
Berbicara fitrah pada manusia tentu dasarnya wahyu, sebagaimana cak nur menjelaskan di NDP bab 2 nya. Bahwa manusia cenderung akan kebenaran (hanif), itulah fitrah Tuhan yang telah memitrahkan manusia kepadanya (q.s ar rum : 30). Kecenderungan manusia akan kebenaran ialah sesuatu yang sangat suci, sebagaimana fitrah itu suci. Jadi, manusia yang akan mencari kebenaran, tentu ia melewati dinamika ataupun proses yang panjang. Tidak begitu saja di saat diri kita dilahirkan sudah menemukan kebenaran-kebenaran yang ada. Bisa kita lihat, dari beberapa teori di saat manusia lahir, seperti plato filsuf yunani meyakini ketika jiwa turun ke tubuh (dilahirkan) bahwa manusia mengalami kelupaan atas apa" yang telah terjadi di alam ruh (arketipe),john locke filsuf aliran empiris yang meyakini manusia di saat lahir seperti selembar kertas kosong (tabularasa), Rene descartes seorang filsuf prancis meyakini bahwa manusia sudah memiliki kebenaran yang dibawa sejak lahir (innate idea). Sedangkan islam meyakini bahwa manusia dilahirkan ia bersifat suci dan hanya dibekali potensi" yang ada seperti indra, hati dan akal untuk mendapatkan kebenaran.
Cak nur mengatakan kebenaran itu ialah Tuhan sebagai yang mutlak dan Tujuan akhir perjalanan manusia (Innalillahi wa innalillahi rojiun). Dengan kerja-kerja kemanusiaannya, Maka dari itulah mengapa Tuhan Menciptakan Manusia sebagai wakil Tuhan dimuka bumi ataupun sebagai pemimpin dimuka bumi ini (khalifah), Yaitu untuk menata alam, sejarah dan kehidupannya. Diceritakan bahwa gunung dan mahkluk lainnya tidak mampu mengemban apa yang di amanahkan allah, namun hanya manusialah yang mampu dan diberi tugas untuk memakmurkan kehidupan mereka di alam ini.
Manusia pada misi khalifahnya ialah tugas yang amat berat, pemimpin di muka bumi bukan layaknya pemain slot yang mengadu nasib pada algoritma yang telah ditentukan bandar. Namun ia perlu meletakan kerja iklas dan hati nurani (kesadaran aktif) serta membaca hukum alam dan norma sejarah pada perjalanan ia mengungkapkan kebenaran, kebaikan, keadilan dan kebahagiaanya. Oleh karena itu, formulasi awal dalam menemukan fitrahnya di alam, manusia membutuhkan satu sistem nilai dan ajaran (petunjuk) untuk menopang kehidupannya. Pertanyaan mendasar kepadanya, bagaimana Manusia memperoleh satu kebenaran yang ia percaya sebagai pegangan hidupnya?
Dari zaman yunani kuno sampai saat ini, perdebatan tentang kebenaran menjadi hal yang urgen, mulai dari apakah kebenaran itu hal yang relatif sehingga menjadikan setiap orang memegang kebenarannya (subjektif) ataukah kebenaran itu ia bersifat mutlak/tunggal (objektif). Jika dilihat dari segi ilmu pengetahuan, kebenaran itu ia bertingkat dan sesuai dengan studi keilmuan masing-masing. Contoh dalam ilmu kimia, materi penyusun air setelah di teliti tersusun dari unsur-unsur kimia H2O yaitu hidrogen dan oksigen. Pada ilmu kimia, materi penyusun air menurut mereka ialah hal yang benar sebagaimana syarat untuk menentukan hal itu ialah penelitian dan eksperimen (lab). Dan begitu juga dengan ilmu matematika, hukum dan ilmu lainnya, kebenaran nya sesuai dengan prinsip keilmuan masing-masing.
Artinya, kebenaran itu beragam macam dan metodelogi sebagai suatu hal yang urgen dalam mendapatkan subtansinya sesuatu. Namun jika kebenaran itu beragam, apakah tidak ada yang namanya kebenaran yang tunggal dalam keberagaman kebenaran yang ada? Jika ada, bagaimana Manusia menemukan kebenaran tersebut di alam ini?
Sederhananya, jika ilmu fisika, matematika, biologi, memiliki kebenaran masing-masing, apakah tidak ada satu kebenaran yang bisa mempertemukan mereka? Sebagaimana kalau ditarik dalam bahasa agama, apakah dari semua agama ada satu titik yang mereka sepakati bersama. Yah, tentu ada orang-orang biasanya menyebutkan dengan tidak ada agama yang tidak mengajarkan kebaikan, ataupun contoh lainnya pasti setiap agama memiliki Tuhan yang dipercayai.
Manusia dalam kehidupannya, musuh yang perlu di singkirkan dari bangunan budayanya ialah kepalsuan-kepalsuan yang bercampur baur pada realitas kebenaran. Sebab, apabila satu kebudayaan manusia di susupi kepalsuan didalamnya, maka kelak kebudayaan tersebut berdampak pada wajah peradabannya. Karena Peradaban ialah hasil dari budaya yang dibentuk dengan satu sistem kepercayaan, tata nilai, dan tradisi/ajaran. Dalam skema cak nur, kepercayaan yang benar akan melahirkan tata nilai, tata nilai yang benar melahirkan satu tradisi/ajaran dan ajaran kelak akan menopang suatu kebudayaan dan peradaban manusia. Oleh karena itu, apabila pada poin kepercayaan mengalami kesalahan maka implikasi nya ada pada peradaban manusia. Peradaban itu akar katanya ialah adab, jika suatu budaya yang dimana ajaran sebagai penopang nya juga rapuh, maka kemungkinan besar pada output manusianya yang bisa jadi kurang beradab.
Sebuah Kepercayaan ialah kebutuhan manusia yang tidak bisa ia tolak, oleh karena itu, kepercayaan sebagai sebuah kebutuhan disisi yang lain ia harus juga benar. Dan kebenaran itu ditemukan pada alam dan sejarah manusia, bukan di dalam diri. Karena kepercayaan memiliki implikasi pada setiap manusia, mau tidak mau manusia memang harus benar-benar dalam berkepercayaan agar tindakannya dia tidak merugikan dirinya dan orang lain.
Sebagaimana fitrah manusia ialah cendrung pada kebenaran (hanif). Dan kepercayaan juga suatu kebutuhan akan kebenaran. Maka pencarian manusia terkait kebenaran ialah perjalanan kebutuhan fitrah dirinya. Cak nur mengatakan, hidup yang bahagia ialah kehidupan yang sesuai atau sejalan dengan fitrah itu sendiri.
Oleh karena itu, problem yang dihadapi manusia dalam menemukan kepercayaan sekaligus kebenaran nya ialah bagaimana memisahkan kepalsuan yang bercampur baur pada realitas kebenaran di alam,sosial dan sejarah nya. Meraih kepercayaan yang benar ialah sebuah keharusan manusia dalam perjalanan menuju kesempurnaan nya, keraguan atau kepalsuan dalam kepercayaan hanya bisa diselesaikan dengan adanya sebuah kepastian.
Manusia butuh suatu kepercayaan yang benar agar implikasi dari kepercayaan tersebut juga benar. Kenapa harus kebenaran? Sebab, jika kita mempercayai apa yang kita percayai, itu sama saja menuhankan diri. Padahal yang kita percayai itu bukan kepercayaan itu sendiri tapi adalah kebenaran, tidak semua kepercayaan itu benar, tapi setiap kebenaran akan dipercayai, dan diposisi ini baru di katakan dengan iman (yakin), tentunya dampak dari yakin ialah aman, ketenangan, bahagia. sebagaimana ungkapan cak nur bahwa kebenaran itu adalah Al-haq. Bukankah bersama kebenaran (alhaq) ialah keamanan yang sejati, ketenangan dan kebahagiaan hakiki.
Manusia bersama kebenaran sebagai pondasi bangunan peradabannya, adalah sebuah proses kerja amal sholeh dalam memakmurkan alam semesta. Sebagai sebuah perjalanan spiritual nya di tengah-tengah alam dan manusia, maka ikhtiari manusia dalam menjaga kesucian fitrah nya yang akan teraktual di alam perlunya kestabilan akal sebagai penuntun atau penjagaan dirinya menuju kesempurnaan (insan kamil). Bagi cak nur, musuh alam dan kebenaran itu adalah kebodohan, kebodohan ini kan bentuk lemahnya akal dalam penjagaan terhadap diri, sehingga hasrat menjadi tak terkendali. Maka sangat aneh jika ada orang menolak untuk belajar, malas dalam belajar, padahal yang sebenarnya untuk mengupgrade akalnya.
Cak nur mengunggkapkan model insan kamil ialah yang kegiatan mental dan fisiknya merupakan suatu keseluruhan. Dia berkepribadian merdeka, memiiki diri sendiri, menyatakan keluar corak individunya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Baginya tidak ada dikotomis antara kegiatan rohani dan jasmani, individu dan sosial dalam satu kesatuan kerja yang tunggal, pancaran niatnya mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (fitrah).
Manusia sempurna adalah puncak nya berada tataran intelektual dan wujud ruhani yang terpancar pada dirinya. Manusia sempurna bukan sebuah fantasi yang diperlihatkan di eropa dengan gaya spiderman, batman, wonder woman, captain amerika dll.Perjalanan manusia menuju kesempurnaan nya ialah jalan yang benar-benar menjadikan ia makhluk, disisi yang lain perjalanan itu ialah jalan pulang ia ke tuhannya. Namun pula ada sebagian kepercayaan akan insan kamil pada setiap manusia yang tertuang pada juru selamat, ratu adil, hingga mesianisme.
Insan kamil dalam perspektif islam selain sebuah ikhtiari manusia, dan ia juga terkait dengan aspek ilahi. Sederhananya insan kamil ialah sebuah role model/pertunjukan ketuhanan di alam semesta ini. Hosein nasr menyebutkan dengan Makhluk Teofani. Allah berfirman : Dialah yang telah mengutus seorang rasul ke tengah-tengah masyarakat yang ummi dan juga ke tengah-tengah masyarakat mukmin. (Q.s al-imran 164).
Keberadaan insan kamil bagi makhluk semesta terkait dengan diri ilahi dalam ungkapan kesempurnaan nya. Jika kita mengatakan bahwa semua makhluk berhubungan dengan Tuhan (keyakinan). Maka kehadiran insan kamil (Rasul Muhammad) hubungannya melebihi semua makhluk yang ada. Tanpa insan kamil, apakah manusia bisa menjadi manusia? Tentu saja Manusia dengan sebuah kepercayaan yang benar bisa saja ia menjadi manusia, tentunya manusia dalam arti yang umum, makan, minum tidur dan hasrat lainnya. Akan tetapi, jika dilihat manusia dalam keterjagaan fitrahnya (bebas dari ilusi, wahm/imajinasi liar, fantasy)itu sendiri mungkin sangat sulit.
Insan kamil merupakan suatu keharusan bagi manusia di dunia ini dan hal ini pula menjadi jalan untuk kembali Pada-Nya. Keyakinan akan agama dalam relasinya pada insan kamil bukanlah sebuah keyakinan tanpa kesaksian diri Manusia (Muhammad). Allah mengatakan : Jika kalian mencintaiku, ikutilah aku (muhammad) Q.s Al-imran 31).
Cak nur : perjumpaan yang palsu tidak menarik, tapi harus perjumpaan dengan wajah Tuhan atau manifestasi (nabi/insan kamil) itu perjumpaan hakiki.
Shadaqaullahul Adzhim
Malang, 17/12/23
Komentar
Posting Komentar