Manusia, kepercayaan & Peradaban
Manusia, Kebenaran & Kepalsuan di wajah Peradabannya
Sebuah Pengantar ringkasan kecil NDP Bab 1 & 2Penulis: Rumi ali ahmad
Semua orang pasti memiliki kepercayaan apapun itu bentuknya. Sebuah bentuk kepercayaan tidak datang begitu saja, tentu ia memiliki sebuah dasar atas kepercayaan itu sendiri. Pernah tidak kita menyadari mengapa kita harus melakukan ini dan itu, apa yang membuat kita melakukan sebuah tindakan tersebut. Tentu kita melakukan tindakan pasti adanya kepercayaan yang membuat kita melakukan sebuah tindakan. Didalam tindakan tersebut pasti adanya nama "Dasar", kepercayaan tidak lahir begitu saja. Jika ada Dasar dari sebuah kepercayaan, maka apa dasar itu tersebut? Dari mana munculnya?
Didalam kehidupan ini siapapun dia, baik individu ataupun sekelompok orang pasti memiliki sebuah kepercayaan. Kepercayaan merupakan inheren dalam diri manusia, bahkan yang menolak sebuah kepercayaan tentu ia memiliki kepercayaan untuk menolak suatu kepercayaan. Jika Kepercayaan merupakan inheren dalam diri manusia maka dia memiliki problem, dalam artian lain yaitu problem kepercayan. Problem kepercayaan salah satunya ialah sebuah keraguan yang dialami oleh setiap orang. Jadi, bisa dikatakan pristiwa rohingnya/imigran ini akan berakhir ( sebuah kepercayaan). Namun, sering kali kepercayan ini tidak membuat sebuah kekuatan untuk kita meyakini keputusan kita, karena apa? Karena adanya persoalan keraguan, sebuah ambiguitas, sebuah kegalauan. Seperti Kita pernah mempercayai seseorang, namun dalam proses perjalanan waktu kita sering kali mengalami keraguan yang kita percayai.
Dengan begitu, sebelum orang mempercayai terhadap sesuatu seharusnya ia menyelesaikan dulu masalah keraguan itu tersebut. Sehingga sebuah kepercayaan yang dipercayai tidak mengalami dampak yang merugikan. Sebab, konsekuensi dari kepercayaan ada di Tata nilai. Jika problem keraguan yang ada diselesaikan terlebih dahulu, maka dengan sendirinya kepercayaan akan menjadi sebuah kekuatan, sebuah kepastian yang tidak akan menggoyahkan siapapun yang mengimani.
Dengan demikian, maka keraguan itu tidak bisa diselesaikan oleh sesuatu hal selain berkaitan dengan kepastian, bahkan kepercayaan itu sendiripun tidak bisa menyelesaikan keraguan. Karena kepercayaan adalah sesuatu yang diproseskan, sesuatu yang ingin dicapai dengan inheren. Maka , dia membutuhkan dasar yang kuat untuk menyelesaikan persoalan kepercayaan. Jadi, kita melihat bahwa problem keraguan yang ada pada kepercayaan itu harus kita selesaikan sejak pertama kali, sebelum kita menyusun atau memilih sebuah kepercayaan. Jadi, keraguan" yang kita alami mau tidak mau adalah sebuah proses awal, sebuah problem untuk kita memasuki ruang ruang kepercayaan. Maka keraguan itu hanya bisa diselesaikan oleh kepastian dan kepastian itu ialah sebuah kelogisan kelogisan yang digunakan atau dibuktikan terhadap apa apa yang kita percayai.
Kepercayaan merupakan sebagai sesuatu yang inheren perlu setiap individu harus meraihnya, bukan berdasarkan hanya diterima begitu saja. Jika kita melihat dalam KBBI mengenai kata kepercayaan maka ungkapan nya berkaitan dengan keyakinan terhadap sesuatu yang benar dipercayai. Jadi, dalam kepercayaan itu didalamnya ada keyakinan dan keyakinan itu muncul yaitu terhadap apa yang kita percayai, bukan keyakinan terhadap kepercayaan. Itu dua hal yang berbeda, keyakinan kita terhadap kepercayaan itu berarti menuhankan diri, namun kalau kita meyakini sebuah kepercayaan terhadap apa yang benar, maka kebenaran itu akan menjadi sebuah keyakinan. Ada dua term yang berbeda, yang pertama kepercayaan itu sifatnya inheren (eksistensial) pada sisi yang lain kepercayaan itu membutuhkan sesuatu yang diyakini dan sesuatu yang diyakini itu berkaitan dengan kebenaran. Kalau dia berkaitan dengan kebenaran, maka kepercayaan itu bukan lahir semata mata kita percaya, namun kebenaran itu lahir dari sebuah kesadaran individu terhadap apa yang ia yakini, maka ia akan menguji setiap apa yang ia percayai itu sebagai sesuatu yang benar ia harus senantiasa menguji secara valid ataupun secara ilmiah.
karena kepercayaan itu sesuatu yang inheren mau tidak mau ,suka tidak suka orang harus percaya apakah benar ataukah tidak dia harus meyakini sesuatu yang ia katakan itu benar, kepercayaan dikatakan benar bukanlah sebuah ungkapan emosional bahwa saya senang sama sesuatu itu kemudian saya percaya, saya membenci sesuatu makanya saya tidak percaya, Kepercayaan tidak berkaitan dengan itu. Karena kepercayaan terhadap sesuatu yang benar untuk dijadikan sebagai sebuah keyakinan tidak berkaitan dengan suka dan tidak suka, senang dan tidak senang. Namun, ia berkaitan dengan sesuatu itu mengandung sebuah kepastian yang kita percayai.
Kepercayaan kita terhadap sesuatu itu adalah hal yang tidak bisa ditolak, namun pada saat bersamaan orang juga harus mempercayai bahwa yang dipercayai itu benar. Jadi, jika kepercayaan itu adalah inheren, maka bisa kita katakan ia adalah kebutuhan yang permanen. Kebutuhan permanen itu sejalan dengan bahwa yang kita percayai itu harus pula benar. Kalau kepercayaan adalah sebuah keputusan maka pada saat bersamaan bahwa kepercayan harus benar. Maka kebutuhan terhadap kepercayaan itu sama halnya dengan kebutuhan terhadap sebuah kebenaran. Jadi, antara kepercayaan dan kebenaran itu dia memiliki sebuah kebutuhan yang sama, bahwa tidak ada orang percaya hanya sekedar percaya, namun harus ia pastikan bahwa yang ia percayai itu harus pula benar.
Maka kata cak nur, apabila kepercayaan itu tampak tanpa kita cari-cari lagi. maka ada dua kemungkinan, yang pertama berkaitan dengan mungkin semuanya salah, ataukah mustahil dua duanya salah dan benar, hanya ada salah satu yang benar dan salah satu yang salah saja. Ini penjelasan yang cukup lumrah. Artinya apa, berarti kepercayaan itu sifatnya dinamis, kedinamisannya itu berkaitan dengan kebenaran yang dibalut oleh sekian kepalsuan di realitas. Cak nur mengatakan ada kebenaran yang satu diyakini, namun ada kebenaran yaitu dimungkinkan mengandung sebuah kepalsuan, maka kita akan bertanya secara jujur saja apakah yang kita yakini saat ini sudah benar adanya?
Sering kita mendengar mengenai hadis atau doktrin agama yaitu islam akan terbagi menjadi 73 golongan bahwa 73 golongan itu hanya satu yang benar dan 72 itu salah. Ini adalah sebuah ruang kepercayaan yang dibalut kepalsuan, kalau hanya ada kebenaran didepan mata ,maka itu menjadi hal yang mudah untuk kita yakini. Namun, bagaimana jika sebuah kebenaran itu dibalut oleh sebuah kepalsuan, atau bahasa sentilnya yaitu jangan" yang kita percayai ini bukan ajaran, tapi ajaran nenek moyang, kalau orang fikh mengatakan yaitu Bid'ah. Ini artinya apa, yaitu kebenaran yang dibungkus oleh kepalsuan. Kalau kebenaran itu dibungkus dengan kepalsuan, maka setiap bentuk kepercayaan diharapkan teman teman melihat secara ruang kemungkinan disetiap kepercayaan itu ada sebuah kebenaran kebenaran yang terkandung. Jadi kita tidak bisa mengatakan saya yang paling benar, kamu yang paling salah, oh tidak bisa begitu, dalam ruang kayakinan individu bisa diterima, namun dalam relasi dari sekian berbagai macam bentuk kepercayaan ada ruang kebenaran yang perlu kita ketahui bahwasanya ada kebenaran yang dibalut oleh kepalsuan. Maka sekali lagi kita mempertanyakan kembali pada diri kita, apakah yang kita percayai itu betul betul benar atau salah?
Kepercayaan merupakan inheren dalam diri manusia, sehingga ia susah untuk kita tolak dengan cara apapun. Kepercayaan yang kali ini kita bahas untuk menindak lanjuti mengenai kepercayaan dalam arti ilmiah. Jika dalam arti logis kita bisa mengatakan bahwa hanya ada satu kebenaran yang ada, seperti innaddina naindaullahhil islam. akan tetapi dalam arti ilmiah/realitas empirik kepercayaan itu ia dibalut dengan kepalsuan kepalsuan terhadapnya, sehingga kita perlu berhati-hati mana kepercayaan yang benar dan mana hanya sekedar kebenaran itu dibaluti oleh kepalsuan?
Kepercayaan merupakan sesuatu yang harus dicapai dengan kesadaran dan disaksikan oleh setiap individu, ia bukan hanya sekedar mengetahui saja, ia adalah awal dari manusia untuk menyempurnakan dirinya dan kembali kepada yang Maha Benar, karena yang Maha benar (al-haq) ia merupakan Tujuan dari Kebenaran itu sendiri. Nah, jika kebenaran itu al-haq, maka kita harus bertanya, bagaimana kita mengetahui kepercayaan kita ini adalah benar dan kita saksikan kebenaran itu? Apabila kebenaran sebuah kepercayaan itu adalah Tuhan, maka ia tidak terlepas dari kesadaran manusia untuk mengetahui dan menyaksikannya.
Dengan begitu, kepercayaan dalam arti ilmiah tentu akan menjadi sulit bagi setiap manusia untuk menyaksikan Kebenaran. Sebab, kepercayaan yang ilmiah itu memiliki problem yaitu kepalsuan kepalsuan yang membalutinya, apakah manusia akan menyadarinya? Sedangkan fakta empirisnya bisa kita lihat, betapa banyaknya kebenaran-kebenaran itu dibungkus oleh kepalsuan. Tanpa adanya kesadaran manusia, kemungkinan besar Dia tidak akan bisa disaksikan. Kebenaran direalitas ia memiliki unsur kepalsuan, apakah yang kita yakini ini sudah benar, atau sebuah kepercayaan nenek moyang yang kita anggap sebagai ajaran adalah benar? Karena didalam kehidupan kita, ajaran itu selalu berkaitan dengan kepalsuan. Maka tugas kita adalah bagaimana mengetahui kebenaran itu pada unsur kepalsuan yang ada. Semisalkan kalau kita mengatakan islam ini ajaran benar, ini sebenarnya dalam artian logis, maka sudah selesai. namun dalam realitas kita sering melihat orang mengatakan ada 73 golongan dan dari 73 golongan itu hanya satu yang masuk surga. Artinya banyak sekali kepalsuan dalam sebuah kepercayaan.
Cak nur mengatakan bahwasanya direalitas sosial ini kebenaran itu ia bercampur dengan kepalsuan. maka seluruh kepercayaan tidak meyakini begitu saja, ataupun kepercayaan yang kita terima tanpa adanya pengkoreksian, karena dalam kehidupan kita, kebenaran dan kepalsuan itu ia seperti mata koin yaitu di sisi lain ada kebenaran dan sisi lainya ada kepalsuan. Maka orang yang meyakini kebenaran, itu adalah sebuah proses panjang salah satunya ia harus membuktikan dan memisahkan bahwa kepercayaan yang diyakini itu memang benar adanya dan terlepas dari kepalsuan. Kalau masih ada kepalsuan dan belum terpisah, maka kemungkinan besar kita perlu otokritik dalam kepercayaan dalam kehidupan beragama.
Dan kepercayaan yang benar, sedangkan kebenaran itu berkaitan dengan al haq. Maka kepercayaan itu adalah sebuah pencapaian, dia bukan sebuah Turun temurun, seperti dari saya, saya turunkan ke teman saya, dan teman saya memberikannya ke yang lain lagi, kepercayaan tidak bgitu. Karena kepercayaan adalah sesuatu yang harus diuji kebenarannya. Jadi, kepercayaan yang benar adalah sesuatu yang berkaitan dengan yang benar. Kebenaran terhadap Tuhan bukan semerta-merta orang dari kecil kemudian meyakini Tuhan,namun keyakinan terhadap Tuhan adalah sebuah proses kesadaran lahir dan batin kita. Bisa kita katakan bahwa Tuhan itu adalah perjalanan aktivitas intelektualitas manusia, bukan perjalanan dogma. Dalam sudut pandang ini menurut cak nur sebuah kepercayaan itu akan melahirkan Tata nilai. Berarti apa, yaitu sebuah kepercayaan yang benar akan melahirkan tata nilai yang benar, yaitu sebuah tindakan yang benar. Tata nilai itu bisa kita katakan adalah sebuah ajaran, jadi setiap kepercayaan didalamnya pasti ada ajaran. Jadi, kepercayaan yang benar itu akan berimplikasi pada ajaran didalamnya.
Yang menarik dari kepercayaan adalah kita harus menemukan bahwa yang kita percayai ini adalah benar dan dia adalah sumber kepercayaan itu Tuhan dan Tuhan itu adalah proses kesadaran, maka ketuhanan itu perlu disaksikan oleh setiap individu. Bahwa ketuhanan sebagai sebuah perjalanan, maka ia harus di ungkap sebagai sebuah persaksian bahwa satu satunya diyakini adalah Tuhan yang maha Mutlak & Tuhan yang Maha mutlak itu berdasarkan dengan sebuah kesaksian individu yang termaktub dalam sumber sumber kepercayaan yang otentik yang berkaitan dengan wahyu ,yang bisa kita katakan yaitu Ashadualla illahhaillaullah (tidak ada Tuhan selain Allah) jadi kita meyakini bahwa Tuhan yang paling benar, Mutlak. namun, dalam bahasa afirmatif kebenaran satu satunya berkaitan dengan Allah swt.
Sebuah kepercayaan akan melahirkan tata nilai dan ia akan menopang sebuah kebudayaan. Kepercayaan yang itu harus benar, yang benar itu Allah swt. Dan allah swt itu muncul dalam kalimat syahadat, sedangkan syahadat itu adalah bahasa kesaksian antara individu dengan Tuhannya, bukan berkaitan individu dengan orang lain, artinya Agama itu adalah proses individu, bukan proses kelompok, komunitas dan lain sebagainya. Namun agama itu adalah perjalanan individu, kepercayaan itu berkaitan dengan individu, karena orang mengatakan asshadualla illahhaillaulah hanya orang itu yang menyaksikan dan kemutlakan Allah swt. Karena kepercayaan melahirkan tata nilai, dan tata nilai yang bersumber dari kebenaran dan itu adalah ajaran Allah swt, Maka tata nilai yang dimaksud adalah ajaran (wahyu) Jadi, semua tingkah laku manusia itu adalah berkaitan dengan ajaran, ajaran ini adalah sebuah sistem nilai dari sebuah kepercayaan.
Tata nilai ini dia akan menopang kebudayaan dia akan melindungi budaya, jika tata nilai itu ialah menopang dan melindungi budaya, maka ajaran itu seharusnya melindungi kebudayaan masyarakat, dan dia bukan sekedar dibenturkan, karena sifat dari ajaran itu melindungi masayarakat, maka sifat dari ajaran itu pasti bukan dekonstruktif, namun dia bersifat konstruktif, ini adalah sebuah dinamika. Artinya jika ajaran yang memasuki sebuah ruang budaya, maka menjaga kebudayaan adalah sebuah ajaran yang ingin melepaskan kepalsuan kepalsuan yang terbentuk oleh kehidupan kehidupan manusia individu tertentu maupun komunal.
Dengan begitu bahwa tata nilai menopang kebudayaan manusia, pada sisi tata nilai itu tidak semata-mata bahwa otomatis. Namun tata nilai itu ada sebuah skenario yang manarik yang dijelaskan oleh cak nur yaitu Tata nilai itu akan melahirkan sebuah tradisi, dari kepercayaan melahirkan tata nilai, sedangkan tata nilai itu melindungi kebudayaan yang beririsan dengan tradisi. Dan tradisi itu adalah sebuah pelembagaan nilai, atau sebuah ajaran formal, dan ajaran itu ia pula harus termaterialkan dalam bentuk tradisi (baca tradisi islam, hosein nasr) Dan tradisi ini yang akan melindungi kebudayaan. Didalam skema cak nur bahwa kepercayaan kepada Allah sebagai sebuah kepercayaan yang benar akan melahirkan tata nilai yang benar, tata nilai ini sudah otomatis benar karena dia bersumber dari kepercayaan yang benar. Maka tradisi juga sebagai sebuah materialisasi nilai, dia ini sebagai basis penjagaan ruang budaya. Lantas, apa yang dijaga dari sebuah tradisi?
Didalam kepercayaan yang dijelaskan menurut skema cak nur ia meletakkan ada beberapa poin yang ia jelaskan, yang pertama mengenai kepercayaan melahirkan tata nilai, tata nilai menopang tradisi, Sehingga tradisi akan menjaga kebudayaan masyarakat. Walaupun cak nur menjelaskan hal demikian, tetapi ia cukup menekan pada poin tradisi. pada satu sisi tradisi bisa membelenggu peradaban, satu sisi yang lain ia membangun peradaban. Jika tradisi sebagai membangun peradaban maka tradisi tersebut dibangun secara kesadaran intelektual dan wahyu, dan bukan lagi kita memepertentangkan seperti tiada habisnya perdebatan akal dan wahyu, atau agama dan kemanusian atau iman & amal ataupun dunia dan akhirat.
Jadi, jika Tradisi yang hanya dibangun dengan kesadaran intelektual semata dan wahyu semata maka dalam perspektif cak nur tidak bisa dibenarkan. Sehingga dalam struktur ini jika melihat dalam kalimat persaksian syahadat yaitu tidak ada Tuhan selain Allah, itu masuk pada urutan pertama, karena kepercayaan terhadap kebenaran, dan kebenaran itu al-haq, dan kalimat persaksian itu ia tidak putus hanya pada Allah. Namun, ia dilanjutkan pada kenabian yaitu Muhammad Saw. Dengan bgitu dalam struktur kepercayaan, tata nilai dan tradisi serta budaya kita meletakkan posisi kenabian di bagian mana? Tentunya Yang dia itu mampu menjaga alam semesta, Tata nilai, Tradisi serta budaya. Maka dari itu kalimat persaksian pada kenabian itu bernilai tradisi (basis panjagaan ilmiah peradaban). Semisalkan ada orang yang mengatakan kita itu harus melawan kezaliman, kezaliman itu bisa dilawan ketika sebuah perlawanan dimaknai dengan sebuah garis garis tradisi, bukan semata mata hanya bahasa ajaran, bahasa normatif. Namun, dia berkaitan dengan sebuah tradisi. Contoh, bahasa ajaran seperti : kita itu harus berbuat baik, setiap manusia itu harus berbuat baik, ini dalam bahasa ajaran. Namun dalam sebuah tradisi sebuah nilai kebaikan itu ditarik dalam sebuah tradisi. Jadi, tidak hanya sekedar bahasa-bahasa formal dan suruhan agama saja, makanya perbuatan baik itu ia perlu terlembagkan pada diri (kesadaran fitrah).
Jadi ketika kita mempercayai kebenaran kepada Allah swt melahirkan ajaran islam, artinya bahwa kita meyakini Allah dengan dikatakan tunduk dan pasrah itulah islam. Namun islam yang dimaksud disini bukan sebuah agama formal, tetapi islam yang dimaksud adalah agama yang dicapai oleh setiap individu menyaksikan ketuhanan. Nah, didalam tata nilai yang melahirkan Tradisi, dan tradisi itu baru kita katakan sebagai sebuah agama Formal, maka pengikut islam dalam makna islam fitrah (terlepas dari suku, agama, dll) dikatakan dengan muslim, namun pengikut ajaran atau tradisi kenabian dikatakan sebagai mukmin, mukmin inikan yang khusus, ajaran itu islam berkaitan dengan muslim, namun turun dalam tata nilai yang melahirkan tradisi, tradisi ini berbicara sebuah mukmin. Ini yang membentengi budaya kita.
kalau kita mempercayai kebenaran adalah sebuah keyakinan, kepercayaan sebuah ajaran adalah keyakinan dan kepercayaan terhadap sebuah tradisi sebagai kenabian adalah sebuah keyakinan. Namun budaya itu bukan sesuatu yang dilahirkan dari tradisi, tapi budaya itu adalah sesuatu yang ditopang, maka budaya dan ajaran adalah dua variabel yang saling berhadapan, dua variabel yang memiliki porsi yang berbeda. Bagi cak nur kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah tradisi islam melahirkan kebudayaan, namun tradisi itu melindungi kebudayaan, dan tradisi bukan melahirkan kebudayaan. Nah, dalam hal ini, kita akan mengatakan, bagaimana caranya sebuah tradisi itu melindungi kebudayaan, sedangkan tradisi dia bersumber dari sebuah sumber wahyu dan kenabian, namun budaya bukan bersumber dari kewahyuan. Maka apa relasi antara tradisi dan budaya? Apa relasi iman dan kebudayaan? Dan apa relasi antara agama dan kemanusiaan?
Sebagaimana kita ketahui bahwa sebuah tradisi bersumber dari kewahyuan, maka dari itu ia tidak secara langsung masuk kedalam ruang kebudayaan. Ia pasti memerlukan ruang dialog untuk memasuki ruang budaya tersebut (toleransi/insklusivitas) Maka ketika tradisi memasuki ruang budaya secara dialog, ia akan memisahkan mana budaya yang baik dan yang mana budaya yang perlu dilestarikan ataukah tidak. Dalam budaya itu ada kebenaran, maka dalam kebenaran sebuah kebudayaan itu harus dibangun dengan landasan tradisi. Kepercayaan itu berkaitan dengan kebenaran, dan melahirkan tata nilai/ajaran serta ajaran itu melahirkan tradisi. Jadi kalau kita membaca dari sudut atas yaitu ajaran dan kenabian ia akan memasuki dalam ruang budaya, coba kita membuka ruang baru yaitu membaca strukturnya dari bawah naik ke atas yaitu dari kebudayaan, maka kebudayaan itu berkaitan dengan tradisi.
Artinya apa, yaitu sebuah perkataan kalimat persaksian sebagai sebuah bahasa wahyu, ketika dibalik pembacaan kebudayaannya, maka kalimat persaksian itu sepertirnya akan muncul pada ruang kebudayaan, dan bukan hanya muncul pada ruang agama. Jadi kita tidak perlu antipati terhadap budaya budaya yang berbeda, karena setiap budaya itu adalah tugas tata nilai dan tradisi dari sebuah kepercayaan untuk menjaganya. Jadi kalau ada hari ini orang tiba tiba masuk dalam ruang kebudayaan kita kemudian tiba tiba mengatakan ini bid'ah itu bid'ah, oh tidak bisa begitu. Karena sebuah kebudayaan dan sebuah tradisi dalam masyarakat itu pasti berkaitan dengan ajaran ,tata nilainya dan dia pasti berkaitan dengan sesuatu yang dipercayai sebagai sebuah kebenaran. Maka ruang kebudayaan itu dia membutuhkan ruang dialog, Dalam hal ini, kebudayaan tentu berkaitan dengan aspek kemanusiaan.
Cak nur menuliskan bahwa secara penciptaan manusia memiliki Fitrah yang cenderung pada kebenaran. Ukuran kemanusiaan di ukur bukan pada fitrahnya melainkan pada tindakan sejarahnya (peradaban) sebagaimana dalam NDP bab I saya menyinggung bagaimana membangun kepercayaan dan di akhiri pada kesakasian kemanusian dari diri muhammad sehingga orientasi Fitrah pada kebenaran yang di objektifikasi pada aktualitas muhammad.
Dengan begitu seluruhnya identitas alam ialah makna persaksiaan. Persaksiaan berlaku dalam kehidupan dunia untuk setiap tindakan manusia. Bagaimana tindakan yang bersejarah sesuai Fitrah itu? sebagaimana maksud fitrah yang suci tanpa sentiment kecuali pada kebenaran. Tindakan yang bersejarah ialah tindakan yang berupaya mengorientasi fitrah, artinya tujuan sejarah (peradaban manusia) ialah tujuan fitrah itu sendiri. Ungkapan cak nur : kehidupan yang bahagia itu ialah kehidupan yang sejalan dengan fitrah) sehingga dalam setiap tindakan individu harus bersesuai dengan sunnatullah. Bagi cak nur, alam berjalan sesuai sunnatullah maka sejarahpun sama memiliki sunnatullah (norma). bagaimana agar tindakan manusia sesuai sunattulah, hal yang dilakukan ialah proses identifikasi terhadap realitas yang kemudiaan setelah identifikasi tersebut dibangunlah niat. niat ialah asas dari sejarah diletakkan dalam tindakan manusia. Tindakan yang bersejarah yang mampu mengevolusi kesempurnaan individu dan masyarakat, tidak ada dikotomi didalam prilaku manusia. pekerjaan - pekerjaan individu pada saat bersamaan memiliki dampak sosial.
Dalam hal ini, keikhlasan ialah modalitas sejarah manusia. tanpa keihlasan tindakan tidak mampu mentransformasi masyarakat, yang hanya mengembalikan efek tindakan pada kesejatiaan bangunan ego. sehingga dengan niat itulah tindakan menemukan wajak keihlasan. Dimana ego diletakkan pada Allah maka yang ada dalam tindakan ialah pengorbanan dan ketulusan. Artinya tindakan yang bersesuai fitrah ialah tindakan keihlasan. Cak nur melanjutkan yang demikian itulah dalam setiap kerja ada kebahagiaan dan dalam kebahagiaan ada kerja. apa makna ungkapan tersebut? setiap tindakan (kerja sejarah) ada kebahagiaan. sejauh pemahaman saya, saya memahami setiap tindakan (kerja) ada kebahagiaan jika tindakan tersebut menyingkap kebenaran, kebaikan dan keindahan sehingga menumbuhkan kepuasaan yang tak terkira pada jiwa. inilah yang disebut kesaksiaan.
jadi kerja tanpa henti apabila tindakan kita menyingkap, menemukan kebaikan, keindahan dan kebenaran inilah kemauan fitrah. menemukan keindahan, kebenaran dan kebaikan dalam setiap tindakan pada wujudnya ialah pertemuaan dengan muhammad. Hal tersebut seiringan konsekuensi pemahaman cak nur meletakkan kalimat syahdat dalam sejarah manusia. maka penyaksiaan tindakan manusia, kemungkinan besar menemukan kebaikan, kebenaran dan keindahan (muhammad). mustahil secara dzati menemukan Allah SWT yang paling realistik bertemu dalam arti manifestasinya. Bukan dalam arti menuhankan Muhammad (nauzubillah)
Dengan demikian tergambarkan bahwa, setiap tindakan yang dilandasi pengetahuan ilahi (taihid) dan niat akan berujung menemukan kebaikan, kebenaran dan keindahan. ini telah ditegaskan cak nur bahwa tujuan tindakan manusia ialah menemukan kebaikan, kebenaran dan keindahan. kerja keras manusia yang diletakkan dalam keikhlasan akan mampu menyingkap kebenaran. penyingkapan (kesaksiaan) inilah awal kiamat. artinya kiamat kecil ialah ketika manusia dalam tindakan sejarahnya menemukan dan menyaksikan wajah muhammad (kebaikan, kebenaran dan keindahan). jadi sejarah manusia ialah mengungkap wajah muhammad (sunatullah) dan kebangkitan ialah sejarah muahmmad pada jiwa manusia.
Oleh karena itu, tindakan bersejarah menyebabkan kematian kecil dan hal ini merupakan kebangkitan sejarah baru umat manusia dan alam semesta. Pada saat bersamaan sejarah sendiri yang terlepas dari tindakan manusiapun akan mengungkap dan menyaksikan muhammad disinilah kiamat besar. tidak ada yang mengetahui kapan datangnya kiamat, waktu terjadinya. artinya yang mengetahui itu semua ialah sejarah itu sendiri, manusia bisa membuat sejarah namun manusia sendiri terlepas dari sejarah pada dirinya. maka waktu kematiaan sosial dan umat semesta ketika sejarah menunjukan, menemukan kebaikan, kebenaran dan keindahan (wajah muhammad/insan kamil).
Kata caknur dalam Ndp bab II beliau membangun kriteria kemanusian yang hidup yang totalitas dan berarti ialah mereka kerja mental dan fisiknya tidak terpisah, individu dan sosial tak terpisah dan selalu dalam jiwanya terbangun jiwa yang harmonis (kosmologis/keseimbangan).
Jadi agama sbg Jalan,yg berorientasi pengenalan manusia dgn Tuhan melalui Nabi Muhammad Saw.
Yang berarti memang kebutuhan (fitrah) manusia terkait kebenaran, maka membutuhkan pembimbingan (kenabian/tradisi) Dgn seperti ini, dalam hemat Saya proses manusia menemukan kemuliaan dan keutamaan (kebahagian) yang bersumber Dari Allah Swt melalui kenabian (intelektualitas) yang tercerminkan Agama (Spiritualitas) dan kemanusiaan (moralitas/tanggung jawab sosial) sebagai orientasi dari implikasi tauhid (human Transendental) dan Pembebasan manusia.
Shadaqaullahul Adzhim.....
Malang, 13/12/23 diperbarui
Komentar
Posting Komentar