Risalah Kemesraan Bagian 1
Risalah Kemesraan
Dimana cinta harus disandarkan? Dipelukan mana ia akan berlabuh?Sebuah pengantar
Oleh : Ali rumi (Jakfi Malang)
Pembicaraan persoalan cinta tiada lah habis nya, dari para filosof, kaum arif bahkan kita yang awam juga ikut membincangkan nya. Katanya hidup tanpa cinta bagaikan taman tak berbunga. Namun, apakah benar kehidupan tanpa cinta agak terasa hambar. Kayak makanan kurang garam ataupun bahan sejenisnya.
Sebagian orang mengatakan bahwa cinta adalah buta ( love is blind) cinta adalah soal perasaan, cinta adalah misteri, cinta adalah terdiri dari beberapa huruf, cinta adalah kata yang memiliki banyak konsep dan cinta adalah sesuatu tak bisa digambarkan atau di definisikan, apapun yang kita definisikan tentang cinta, itu bukanlah cinta itu sendiri. Sebab cinta tak bisa diwakilkan oleh ungkapan atau kata-kata. Dari pandangan ini, bisa saja kita punya seratus lidah yang tak mampu untuk memuji cinta, atau sederhananya cinta itu sesuatu yang tak terbatas.
Mungkin ada satu ungkapan dari penyair Maulana rumi yaitu : "sudah ku uraikan seribu satu macam alasan untuk menjelaskan tentang cinta. Namun, tatkala cinta itu datang menyapa, aku malu karena tidak mampu menjelaskannya, karena hakikat cinta adalah sebuah rahasia yang tidak terungkapkan".
Terlepas dari hal itu, para filosof juga ikut membicarakan hal ihwal cinta ini, Cinta memanglah bagian dari kehidupan kita, Kira-Kira begitulah para filosof menggambarkannya, sebagaimana ungkapan mereka bahwa cinta adalah sesuatu yang eksistensial artinya ia mengalir di setiap keberadaan. Tentunya masing-masing kita memiliki derajat atau level tertentu terkait cinta.
Jika cinta memiliki levelnya ketika ada pada diri kita. Maka level tinggi dan rendahnya bergantung pada persepsi kita pula. Sejauh apa pengetahuan kita tentang cinta maka itulah capaian kita tentang cinta. Ketika kita meletakan cinta pada sisi material, seperti saya mencintai mu dek karena cantik, sexy dan banyak hartamu. Cinta begini tentu sandarannya ialah pada kualitas material saja ataupun hasrat yang kecendrungan pada materi semata.
Adapun cinta yang melapaui hal-hal material ini lebih ke arah metafisis, saya mencintaimu dek karena Allah, saya ingin membawamu bersama cinta menuju cintanya Allah Swt. Namun terlepas dari itu adapula cinta yang non material yang digambarkan oleh plato, cinta yang basisnya alam idea (arketipe) seperti cinta Tak harus memiliki. Mencintai sesuatu tapi tidak juga harus memiliki nya. Mungkin kita sebut saja cinta yang idealis (tanpa adanya material).
Lantas, dimana cinta harus disandarkan? Apakah pada hal material semata, atau spiritual semata, mungkinkah pada ideanya cinta platonik? Ataukah pada cinta aristotelian (silogisnya) ataukah pada suhrawardi israqiyah/paripatetiknya (anugrah tuhan)? Atau ada pendekatan lainnya?
kecendrungan kita mencintai sesuatu ada dua wajah saja, karena hasrat atau Rasionalitas cinta. Dimana hasrat hanyalah kecendrungan yang artinya ia hanyalah sebuah potensi. Dan cinta sebagai jalan Rasionalitas hal tertinggi. Jika cinta kita lepas dari hasrat itu juga tak baik, begitu juga cinta kita lepaskan dengan Rasionalitas nya. Mungkin jalan keduanya ialah memadukannya.
Mungkinkah Cinta disandarkan pada hasrat, sedangkan hasrat inikan selalu ingin mencari tujuannya diluar dirinya, kalau tujuan di dalam diri, tentu kita tak banyak menuntut mau begini dan begitu. Apabila hasrat menjadi sandaran cinta, maka orang yang punya hasrat akan memperluas ruang hasratnya atau banyak sekali maunya dan ini tidak sederhana, sebagaimana jalan Rasionalitas/filsafat inginkan (kesederhanaan).
Misalkan, katakanlah ada 3 HP yang bagus dilihatkan didepan kita dan kita pasti fokus melihat ke tiganya tersebut. Tapi kalaupun ada 10 HP yang jauh lebih menarik, dan kita hanya fokus pada 1 HP saja dan hal ini tentu lebih mendasar. Kira-kira begitu ilustrasinya.
Hasrat bukanlah sesuatu yang untuk ditindas dan juga tidak kita eksploitasi. Tetapi hasrat itu perlu kita tempatkan pada posisi yang layak. Sebagaimana kita menindas hasrat dengan cara tidak makan demi beli buku, atau sesuatu yang lainnya. Hal begini kan dilarang, kita menyiksa tubuh fisik dimana tubuh kita membutuhkan asupan yang layak pula, namun digantikan dengan hasrat yang lebih baguslah (beli buku) bisa kita katakan begitu sebab dia beli untuk dirinya mendapatkan ilmu. Namun menindas hasrat tertentu, ini tidak dibenarkan juga. begitu juga dengan eksploitasi hasrat, beli dan baca buku terus sampai lupa jam tidur dan makan teratur. Atau main HP terus-menerus, scrolling sana sini sampai baju kotor pun tak tercuci. Hal begini kita terlalu mengeksploitasi hasrat.
Telah kita jelaskan bahwa Hasrat sebagai suatu kecendrungan ia pasti menuntut sesuatu yang tidak ada pada dirinya, maka pertanyaan kita, yang hakiki pada tuntutan hasrat ini yang seperti gimana? Karena banyak betul yang menjadi tuntutan dalam kehidupan kita ini. Seperti makan, minum, beli ini dan itu, kesana kemari/jalan-jalan. Sebenarnya apa yang dicari oleh hasrat ini?
Dalam filsafat, hasrat itu cendrung sentuhannya selalu pada material, sedangkan material adalah hal yang selalu terurai dan ada ruang celahnya, dia juga tidak utuh dan penuh dengan bagian-bagian. Contohnya saja, ketika saya melihat perempuan yang berdiri didepan saya,tentu tidak semuanya yang saya lihat, tentulah hanya bagian-bagian dari dirinya saja dan hal ini disebut dengan batasan (indrawi).
Kalaupun kita menghidar dari tuntutan hasrat terhadap material, dan kita memilih untuk menuntut banyak nya ilmu saja dan akhirnya kita terus belajar, dan hal ini pun tak terlepas juga dari tuntutan hasrat (hasrat pengetahuan) walaupun itu adalah pengetahuan. Tuntutan kita pada banyak nya pengetahuan tentu hal ini baik. Tapi yang kita cari ialah kehakikian dari tuntutan itu.
Maka, ketika kita mengatakan ungkapan cinta kepada seseorang tapi cinta yang kita ungkapkan itu masih ada hubungannya dengan hasrat. Kemungkinan besar pula dari cinta itu juga akan menampilkan wajah-wajah eksploitasi dan penindasan. Iya kita mencintainya dalam seminggu dua minggu masih tanya" perhatian udah makan belom, kalau belom makan dibeliin makan, kalau sakit di rawat dll. Namun apakah cinta yang masih ada kaitan denga hasrat akan bertahan dengan lama? Bisa jadi lama, namun apakah mampu bertahan dengan penderitaan yang diterima (eksploitasi dan penindasan) dan bisa juga memudar atau meninggalkan model cinta begitu. Tentu kebanyakan orang tak mau menderita, maunya cinta itu terus mendapatkan kenyamanan, keadilan dan kebahagian.
Banyak dari kita melihat cinta yang termaterialisasikan dengan hasrat, jadi kalau kita jatuh cinta perlu juga di deteksi atau dilihat-lihat lah. Saya jatuh cinta ini apa karena kecantikan wajahnya dan kemolekan tubuhnya, atau kah karena sifat, moral dan wawasannya. Sederhananya, jatuh cinta kita ini di posisi hasrat atau benar" cinta.
Lantas, bagaimana mengukur hasrat? Hasrat dengan kecendrungan materialnya bisa di ukur secara alami saja seperti fisik. Bukan hal begini salah, namun dalam kualitas cinta tentu ini adalah hal yang dalam tingkatan rendah/lemah. Ada perkataan menarik para milenials cinta, kalau hanya mencintai ku sekedar wajahku tampan atau cantik, lantas bagaimana aku menua nanti yang kulitnya akan keriput, apakah kau masih mencintaiku nanti? Cinta dalam kualitas hasrat material adalah sesuatu yang lemah/rendah, sebagaimana telah kita jelaskan kualitas material diatas.
Sungguh sangat aneh sekali jika kita mencintai sesuatu tapi semakin hari semakin melemah. Hal ini ditolak dalam teorema cinta, cinta tak akan pernah melemah, yang melemah itu justru wilayahnya hasrat. Kalau cinta itu melemah, Jangan-jangan itu bukan cinta, pastilah hasrat. Dan seharusnya cinta itu menguat, cinta yang melemah karena alasan udah bosan, tidak cocok lagi, beda tujuan tentu ini bukan cinta, mungkin sekedar singgah saja dalam sementara waktu (cinta musimam diantara mood dan bad mood).
Kalau hasrat tentu memiliki lemah dan kuat, seperti kita lapar, tentu hasrat kita akan menguat pula untuk makan. Namun ketika kita makan terus menerus 5 menit pertama masih kuat, ketika berjalan ke menit" selanjutnya hasrat akan mengalami kejenuhan, udah mulai melemah (berhenti). Jika hasrat mengalami kelemahan pada dirinya, apakah bisa ia mendapatkan yang lebih tinggi dari dirinya?
Sebagian kaum sufi jika bicara terkait hasrat material begini, lebih baik mereka cepat-cepat meninggalkan tubuh fisik ini, bagi mereka tubuh fisik begini potensi dosa sangatlah besar. Dan mereka ingin mencapai sesuatu yang lebih tinggi saja dari hanya sekedar material begitu, yaitu bersama pemilik cinta, Allah Swt.
Namun kita juga tak ingin layaknya sufi yang berkonotasi negatif jika tubuh fisik ini di abaikan. Hasrat ialah sesuatu yang suci, justru kesucian itu kita perlu meletakan hasrat kepada tempat sejatinya. Kita bukan anti hasrat, lebih baik nya saja, hasrat itu kita bimbing kepada tujuan yang tinggi. Kemanakah hasrat akan bertempat tinggal? Di dunia material atau pergi ke rumah cinta sejatinya?
Shadaqaulahuladzim
Bersambung.....
Malang, 23
Komentar
Posting Komentar