Refleksi singkat Kematian Filsafat & Orientasi Gerakan 

By. Ali rumi


Dewasa ini kita melihat bahwa tidak sedikit yang mengutuk Filsafat sudah mati, filsafat sudah Tamat, Bangkrutnya filsafat dan lain sebagainya. begitupula perdebatan sains dan filsafat saling terjadi, dinamika pertentangan ini lumayan menguras pikiran para penganutnya. Mengatakan filsafat sudah mati, sains sudah mati, lantas apa ukurannya? Tentu ketika orang mengatakan sains dan filsafat sudah mati itu memiliki cara pandangnya. Mengatakan filsafat sudah mati itu cara pandang siapa? Cara pandang sains atau filsafat? Tentu perlu dilihat dalam persoalan ini.


Salah satu alasan mengapa teman-teman sains mengatakan Filsafat sudah mati ialah berkaitan dengan sumbangsih filsafat yang tidak terlalu banyak pada kehidupan Manusia, filsafat hanya pergulatan kata-kata yang tidak ada habisnya. Belum lagi Persoalan metafisika yang seperti mencari kucing dalam kegelapan. Sehingga bukti nyata atau kontribusi filsafat itu tidak terlalu membangun kemajuan peradaban umat manusia. Dan inikan sebuah cara pandang sains terhadap filsafat, akan tetapi, bagaimana cara pandang filsafat terkait dirinya. Apakah memang betul filsafat sudah berakhir? Bagaimana matinya filsafat menurut dirinya? Benarkah tuduhan-tuduhan itu ada realitas objektifnya ataukah hanya spekulasi saja? Dan begitupula dengan sains yang mati karena tidak bisa mengungkap realitas metafisika, ranah sains hanya bisa menjangkau hal-hal material jika melihat asasnya yaitu empirikal. Mungkin kematian sains bisa dikatakan ketidak berdayaannya dalam menemukan Metafisika pada sains.

Adapun persoalan ini mungkin implikasi teman-teman empirisme yang menjalar didunia eropa sehingga mematikan metafisika dalam empiris, seperti halnya immanuel kant pada pengetahuan nomenanya bahwa sesuatu pada dirinya itu tidak bisa diketahui. Kant menjadi kontribusi besar dalam mematikan ruang metafisika itu realitasnya tidak bisa dimasuki oleh filsafat, sehingga ia lari dalam mencari realitas metafisika tersebut dan muncullah akal budi praktis atau pembahasan moral praktis yang tidak berbasis Realitas Metafisika. Ini merupakan sebuah cara pandang bukan dalam bentuk keyakinan. Persoalan metafisika yang tidak selesai perdebatan dengan Materialisme ini menjadikan bahwa Mau dibawa kemana Masa depan Manusia, apakah Hanya pada materialisme ataukah Metafisika saja.

Didalam ruang gerakan untuk membangun peradaban umat manusia tentu antara metafisika dan materialisme memiliki cara pandang atas model gerakan nya. Sebagaimana kaum Materialisme dalam basis gerakkan nya ia meletakkan cara pandang, seperti halnya mendorong hasrat orang dalam sebuah diktum bahwa orang harus keluar dari ketertindasannya. Tapi ketika berkaiatan dengan materialisme tentu banyak kritik dan ujung" nya pada struktur politik. Struktur politik kekuasaan sebagai kekuatan basis gerakan.  Dan begitu pula dengan metafisika ketika ia ditarik sebagai sebuah cara pandang gerakan yang tidak punya pijakan, maka ia juga jatuh pada struktur politik kekuasaan. Tentu tidak salah, karena orang punya pilihan.

Akan tetapi persoalan kita ialah pijakan dalam sebuah gerakan sebagai peletakan ia adalah sebuah basis kesadaran. Hari ini kita menyadari atau tidak bahwa bagaimana merumuskan manusia yang akan datang ataupun masa depan umat Manusia. Diantara materialisme dan metafisika ini ia saling menawarkan cara pandang terkait persolan tersebut. Paling tidak sampai saat ini orang belum bisa menumbangkan marxisme dalam meletakan basis gerakkan nya, mulai dari basis agraria ataupun agama, marxis dia hadir dalam ruang gerakan.

Lantas, ketika ruang" materialisme ini sudah sepenuhnya memasuki ruang-ruang kehidupan kita, maka ruang metafisika kita mau letakan ia dimana sebagai sebuah basis gerakan? Jika ruang metafisika tidak punya pijakannya, maka sebagaimana yang dikatakan marx bahwa agama itu candu, comte mengatakan bahwa metafisika ialah sebuah pelarian orang saja atas kebodohan melihat fenomena-fenomena alam, belum lagi kata feurbach bahwa Metafisika ialah ciptaan manusia, atau dari betran russel bahwa agama atau metafisika adalah produk ketakutan manusia. Nah, pada anasir-anasir ini tentu metafiska diruntuhkan dengan cara pandang, ketika kita membaca heidegger didalam bukunya filsafat sudah tamat, atau Hawking yang mengatakan  Filsafat Sudah mati. Ini adalah kontruksi berpikir yang dibangun dan menyerang metafisika, apakah Orang-orang ini tidak percaya metafisik? Tentu orang-orang ini percaya metafisik, namun mengapa orang menyerang metafisik? Dan penyerang itu bukan penyerangan dogma, penyerangan dogma tentu tidak berpengaruh, ketika kita menyerang dogma terkait metafisika apalagi dengan anasir materialisme tentu ini tidak kuat.

Namun anasir yang kuat dalam penyerangan metafisika ialah anasir yang tidak mampu membuktikan adanya realitas metafisika, sehingga orang mengatakan bahwa metafisika akan berakhir atau sudah mati.

Mengatakan metafisika sudah berakhir bahwa masa depannya akan berakhir atau sudah tamat dan  metafisika tidak punya pijakan atau realitasnya dengan anasir materialisme, maka diktum ini pula ialah diktum yang keluar dari asas mereka. Sebab, mengapa sains atau orang" empiris ini memprediksi masa depan, bukankah itu keluar dari asas mereka. Mempredikasi masa depan itu berkaitan dengan filsafat bukan cara pandang sains, sains itu bicaranya masa sekarang bukan melapaui atau memprediksi masa depan. Masa depan itukan belum punya realitasnya, kenapa mereka membicarakan itu, bukankah ini adanya ketidak jujuran dalam berpengetahuan.

Membicarakan masa depan ialah kerangka filsafat, jadi ketika sains membicarakan tentang masa depan, maka kerangka berpikir itu di ambil dari mana? ketika kita menemukan bahwa filsafat mati dalam arti metafisika, maka yang memprediksi matinya filsafat itu hak nya siapa? metafisika ataukah sains? Jelas, tidak ada kerangka sains yang memprediksi itu, sehingga memprediksi  matinya filsafat atau metafisika itu ialah hanya metafisika itu sendiri atau filsafat itu sendiri. Tentu kita tidak menolak sains, kita menerima sains sebagai pijakan kita.

Seringkali kita mendengar orang-orang mengatakan Bahwa akal itu terbatas ketika membahas metafisika, tentu didalam pikiran kita pasti adanya pengetahuan metafisika, metafisika sebagai sebuah ide mau tidak mau suka tidak suka orang pasti pernah merasakan hal itu, maka ketika ide metafisika itu hadir dan terlintas dikepala kita, maka konsekuensi yang paling sulit ialah membuktikan adanya realitas metafisika itu tersebut. Maka dalam perkataan M.T.M Yazdi bahwa Orang yang percaya Tuhan Tapi tidak bisa membuktikannya, maka itu adalah ateis secara ilmiah.

Begitupun dengan orang-orang beragama yang mengatakan bahwa Tuhan tak bisa diketahui dengan akal. Ini merupakan salah satu berkembangannya ateis, ketika orang tidak percaya dengan akal untuk menyelesaikan masalah metafisik. Lantas, metafisika berakhir dimana? Ketika metafiska dilihat dari cara pandang, maka metafisika juga harus berakhir. Namun metafisika itu tidak pula berakhir dengan cara pandang, ketika dengan cara pandang maka metafisika akan mengalami terus sebuah abstraksi. Dan metafisika itu mati dengan cara pandang berkaitan dengan pembuktian cara pandang dalam menemukan sisi realitas Metafisika. Inilah berakhirnya metafisika, yaitu sebuah peletakan cara pandang yang menemukan Realitasnya. Lantas, ketika kita menemukan kematian metafisika, apa arti kematian itu dalam arti filsafat?

Dan ali syariati mengatakan bahwa cara pandang kita terkait metafisika itu tidak akan pernah berakhir. Maka untuk mengakhirnya yaitu akal kita harus tunduk pada realitas metafisika sebagai basis metafisika, jadi akal itu punya pijakannya, kalau didalam teleologi persepsi bahwa akal yang tidak punya pijakan itu disebut dengan wahmiah atau tempat iblis. Maka didalam gerakan antara akal dan wahm itu bermain apabila akal tidak menemukan pijakan realiatasnya. Maka dalam merealisasikan gerakan akal itu harus stabil, dan akal yang stabil ialah tunduk pada realitas metafisika. Bagaimana imajinasi akal yang tunduk itu? Salah satunya tidak ada lagi keinginan Manusia, semisalkan kalau allah mengatakan sholat 5 waktu, maka tidak ada lagi pertanyaan atau alasan, maka kemauan tuhan itu langsung dilakukan, bukan dalam artian dogmatis akan tetapi didalam pencapaian. Maka salah satu mendudukan wahm ialah menundukan akal pada realitas dan  itu sangat berat. karena kita berangkat dari sebuah kebebasan kemerdekaan pikiran tapi pada akhirnya kita ialah determinisme murni dan itu berkaitan dengan tuhan bukan dengan yang lain. 

Kita ingin melihat bahwa pasca filsafat (kematian metafisika) ialah orientasi gerakan, bagaimana kita ingin melakukan gerakan, namun tak melihat wajah keindahan, air mata dan cinta (Transendensi) pada gerakan, dimana teleos gerakan itu? yang ada orientasi gerakan sekarang, muka tambah sangar, masyarakat jadi takut, ujaran kebencian menjadi-jadi. Apa sebenarnya orientasi gerakan yang dilakuan? Makin banyak gerakan bukan menyelesaikan persoalan, malah tambah terus persoalan. Kita semua ingin melihat bagaimana wajah sejati gerakan itu.

Dengan kematian filsafat (metafisika) sebagai landasan gerakan, tak ada lagi perpisahan, yang ada hanya pertemuan (subjek metafisika), maka tak akan lagi kekasih meninggalkan sang kekasih dimedan perjuangan. Yang ada hanyalah terus menerus bersama kekasih.

Bihaqqi Muhammad Saw......

Shadaqaulahul adzhim 

Malang, 29 Oktober 2022, diperbarui
Rumi ali ahmad. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Perkaderan #2

Proyek Perkaderan #11

Proyek perkaderan #8