Kosmologi tanah betuah #4 Masyarakat dan Sejarah : Politik Berbasis Masyarakat

Kosmologi tanah betuah #4

Masyarakat dan Sejarah : Politik Berbasis Masyarakat

By. Ali rumi


Membahas mengenai Politik Memang Menjadi Perbincangan yang tidak pernah habisnya dikalangan orang tua, remaja dan orang dewasa, semua membahas politik apalagi pada saat pilpres sampai pemilihan ketua RT. Pergulatan Wacana kepemimpinan dan kekuasaan menjadi titik persoalan yang mendasar siapa yang akan jadi, dan siapa yang terpilih kelak.

Alih-alih membicarakan politik sampai lupa sudah sampai dimana Basis Politik yang dibicarakan, yang ada onani wacana, Kekuasaan menjadi Suatu seni dalam Perpolitikan. Sebenarnya apa ini semua? Kita terjun ke dunia politik ini mewakili siapa? Apakah mewakili sebagian golongan, ataukah kita mewakili atas nama partai ataukah rakyat? Ini persoalan yang mendasar, kita mengatasnamakan rakyat tetapi dibelakang kita ialah jejaring partai, jejaring yang berkuasa, oligarki dan sebagainya.

Apa arti politik kita sebenarnya? Kita berpolitik tapi acuan atau basis politik kita tidak jelas, mungkin ada acuannya tapi tidak meniscayakan dalam orientasi perpolitikannya, mungkin acuan sebagai syarat formal dalam menenangkan hati masyarakat. Ini mungkin terlanjur berpolitik, ya jalani saja, yang penting cuan. Tentu bisa dipahami problem yang terjadi antara orientasi politik dan tindakan yang tidak selaras sebab adanya gesekan material, siapa yang tidak ingin rumah mewah, mobil banyak, hidup sejahtera. Tentu sah saja, tetapi bagaimana psikologis masyarakat melihat itu? Mungkin ini yang dikatakan sebagai perwakilan rakyat, mewakili sejahtera, banyak mobil dan rumah mewah.

Sebagaimana kita ingin Melihat wajah politik Kita pada saat ini, lihat aja realitas yang terjadi, Banyak yang mencalonkan diri, dan menghabiskan uang ratusan juta bahkan bermiliaran demi Terpilihnya ia mewakili masyarakat. Walaupun kriterianya sebagai pemimpin tidak memungkinkan, sebagai sebuah optimisme untuk mewakili boleh-boleh saja, akan tetapi lihatlah kadar diri apakah memang sudah pantas untuk mewakili masyarakat dengan menghamburkan uang ratusan juta bahkan bermiliaran atas nama kampanye.

Dewasa ini kita meilhat basis politik diawali oleh uang dan di akhiri dengan uang. Walaupun ada yang tidak menggunakan uang dan bermodalkan keberanian saja. Tapi yang cenderung direalitas ini politik yang berbasis uang.  Sebelum terpilih sebagai mewakili, katanya sedekah dulu, balutan agama dalam politik memang tampak, niat sedekah, dalam hati pilihlah saya. Setelah terpilih, mulai 1 bulan atau satu tahun kedepan balikan modal sedekah dulu. 5 tahun kedepan mulai sedekah lagi itu, untuk naik mewakili periode selanjutnya. 

Sekelumit persoalan pada wajah politik kita sebenarnya tidak ada tanggapan serius dari masyarakat, kaum intelektual dan agamawan. Adapun Intelektual (organik) berpolitik tetapi juga ikut dalam kenduri politik, begitu juga dengan agamawan, mungkin sudah pesimisme melihat fenomena terjadi dalam kancah politik. Sehingga tidak terlalu mau ambil bagian dalam pergulatan politik, ini bisa dikatakan agamawan negatif. 
Sebab tidak ikut andil dalam urusan kemanusiaan, orientasi politik yang tidak benar, seharusnya kaum agamawan dan intelektual menyadarkan hal itu, bukan ikut dalam kenduri politik ataupun melarikan diri dari realitas itu.

Orintasi politik itu menampilkan wajah kemanusiaan, begitu juga antara agamawan dan intelektual itu bertemu pada ruang-ruang Kemanusian. Akan tetapi, kita melihat realitas sekarang, Intelektual di satu sisi, agamawan di satu sisi, mulai mengambil jalan masing-masing. Ada yang kemasjid melulu sampai lupa dimana ruang kemanusiaan. Ada yang ahli bidang keilmuan tapi tidak punya kejelasan dan akhirnya ngikut arus saja. 

Tak banyak yang mengetahui dan tak banyak pula yang sadar, mungkin ia sadar tapi pada taraf yang rendah. Dimana kiblat politik kita sebenarnya, bukan hanya sekedar ikut-ikutan berpolitik, Tapi kita harus mengetahui juga dimana posisi politik kita, Orang- beragama terjun kepolitik tapi lupa dimana wilayah tuhan dan dimana wilayah kita. Yang ada sekarang wilayah kita punya hasrat untuk menguasai, yang menghalang dilibas, jadi lupa kita sebagai orang yang bertuhan. Mungkin ini salah satu penyebab wajah politik kita hancur, sebab kita tidak membuka wajah ketuhanan pada realitas politik. Yang ada wajah material yang penuh kemewahan. Orientasi politik kita tidak ada sisi transedensi yang utuh.

Sehingga balutan imajinasi fantasi hadir pada kekuatan kekuasaan politik, sederhananya iblis dan setan sudah bercampur pada wajah politik tersebut. Yang ada politik bukan jalan Transformasi kehidupan sosial, justru ia sebaliknya, politik ialah sebagai seni mempertahankan kekuasaan para elit. Jadi, klimaksnya politik kita hanya sebatas mengumpulkan kekayaan, harta berlimpah, hidup dengan ketidaksusahan.

Oleh karena itu, sebelum mengontrol masyarakat yang banyak, terlebih dahulu kontrol diri sendiri, sebagaimana realitas kehidupan kita itu berelasi pada unsur Manusia, Alam, Hubungan Manusia dan alam serta Tuhan. Dan bagaimana kita mengaitkan antara sisi intelektual dan spiritualitas pada wajah politik kita didalam masyarakat. Wajah masyarakat kita belum sepenuhnya mengetahui bagaimana objektifikasi politik sesungguhnya, karena kita sudah terbentuk dengan paradigma politik praktis yang jauh dengan ruang Tuhan dan kemanusian, maka paradigma itu terkubur sejak lama dalam ruang sosial kita.

Lantas, apa yang harus kita perbuat?

Shadaqaulahuladzim....

Rumi Ali Ahmad 

13 November 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Perkaderan #2

Proyek Perkaderan #11

Proyek perkaderan #8